Artikel
Berikut adalah artikel saya
Mengenai Saya
Pengikut
Kamis, 29 September 2011
PENGUMUMAN
Seminar tuk : Guru SD n TK, Orang tua, Terapis atau Mhs. Seminar untuk Pemula : "Autisme dalam Perspektif Behavioristik dan Sensorik. 23 Oktober 2011. Pukul : 08.00-12.00. Tempat : Perum Dasana Indah BA 4/14 Bonang, Kelapa Dua Tangerang. Biaya Investasi : Rp. 100.000. Diskon 25% Jika mendaftar sebelum 15 Oktober. (snack, sertifikat dan Makalah). Pembicara : Joko Yuwono (Praktisi, Dosen dan kandidat Doktor Konseling tuk Orang Tua anak berkebutuhan khusus). Hubungi : 081585860021 (Ibu Puji), 081281194836 (Ibu Deden), 02198181255 (Ibu Dedah). Terima kasih.
Pembayaran. ditransfer ke : BCA, No Rek. 0721062721. An. Joko Yuwono.
Jalur umum :Dari kebun Jeruk naik ke Islamik, Lalu naik angkot Coklat jurusan ke Bonang, dasana Indah, Turun di Sekolah Al Fityan, Cari Blok BA 4 No. 14
Pembayaran. ditransfer ke : BCA, No Rek. 0721062721. An. Joko Yuwono.
Jalur umum :Dari kebun Jeruk naik ke Islamik, Lalu naik angkot Coklat jurusan ke Bonang, dasana Indah, Turun di Sekolah Al Fityan, Cari Blok BA 4 No. 14
Rabu, 02 Juni 2010
PANDANGAN TERAPI EKSISTENSIAL Joko Yuwono
“Dengan makna, penderitaan dapat ditempuh dengan penuh kehormatan”
Viktor Frankl
A. Pengantar
Pada bulan September 1942, seorang dokter muda, bersama dengan istrinya, ibunya, ayahnya, dan saudaranya ditangkap di kota Wina, dan kemudian ditahan di kamp konsentrasi Bohemia. Peristiwa inilah yang nantinya akan menggetarkan hidup dokter muda itu, dan membantunya untuk menemukan apa yang sungguh-sungguh bermakna di dalam hidupnya.
Viktor Emil Frankl, MD Ph.D., itulah namanya. Lahir 26 Maret 1905 dan meninggal 2 September 1997. Ia adalah seorang neurolog dan psikiater Austria serta korban pada Kamp NASI Jerman yang selamat. Frankl adalah pendiri logoterapi dan Analisis Eksistensial, "Aliran Wina Ketiga" dalam psikoterapi. Bukunya, Man's Search for Meaning (pertama kali terbit pada 1946) mencatat pengalamannya sebagai seorang tahanan kamp konsentrasi dan menguraikan metode psikoterapisnya dalam upaya mencari makna dalam segala bentuk keberadaan, bahkan yang paling kelam sekalipun, dan dengan demikian juga alasan untuk tetap hidup. Frankl adalah salah satu tokoh utama dalam terapi eksistensial.
Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan dan kebebasan dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Dalam prakteknya, terapi eksistensial dilandasi pada asumsi-asumsi filosofis.
Terapi eksistensial berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini mengutamakan sikap yang menekankan pada pemahaman bahwa eksistensi manusia alih-alih sebagai teknik-teknik untuk mempengaruhi klien.
B. Konsep-Konsep Utama
Terapi eksistensial menekankan pandangan tentang manusia. Pada bagian ini disajikan tentang konsep-konsep utama dalam terapi eksistensial yang membentuk bagi landasan praktek terapeutik.
Kesadaran diri
Manusia hakekatnya memiliki kapasitas kesadararan diri. Manusia memiliki kesadaran untuk berpikir dan memutuskan sendiri. Para eksistensialis menekankan bahwa manusi bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya. Ia bukanlah bidak dari kekuatan-kekuatan yang deterministik dari pengondisian.
Kebebasan, tanggung jawab dan kecemasan
Ketiga kata diatas merupakan satu rangkaian yang saling berkaitan. Kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab membuat menusia dihadiri kecemasan. Kebebasan manusia diiringi tindakan yang bertanggungjawab dan bahwa keterbatasan adalah atribut manusia maka kecemasan hadir.
Penciptaan Makna
Manusia itu unik, artinya bahwa manusia akan berusaha menemukan dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupannya. Eksistensi dari keberadaab manusi itu adalah kebermaknaan dirinya dalam kehidupan. Ketika manusia gagal menciptakan kebermaknaan maka hal-hal yang terjadi adalah kesepian, kesendirian ataupun keterasingan.
C. Proses-Proses Terapeutik
• Tujuan-tujuan terapeutik
Tujuan terapi ekstensial adalah agar klien memiliki kesadaran secara otentik sehingga ia sadar akan keberadaanya dan potensi-potensinya sehingga terbuka dan bertindak sesuai dengan kemampuannya. Otentik artinya sadar akan keadaan saat ini, memilih bagaimana hidup saat ini dan memikul tanggung jawab untuk memilih. Penting sekali untuk membangun kesadaran klien untuk memutuskan suatu pilihan (memilih) sehingga ia menjadi bebas dan bertanggungjawab atas kehidupannya. Kecemasan sebagai akibat kebingungan manusia untuk memilih karena tidak ada jaminan kepastian. Maka klien harus menyadari pilihannya untuk menghadapi kecemasan dan menerima kenyataan bahwa dirinya adalah korban dari kekuatan-kekuatan deterministik diluar dirinya. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan terapeutik ekstensial adalah sebagai berikut :
1. Membantu klien melihat bahwa mereka itu bebas dan sadar atas kemungkinan-kemungkinan dalam hidupnya.
2. Menyadarkan klien bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang sedang dipikirkannya itu sedang dan sudah terjadi
3. Menyadarkan pada klien tentang faktor-faktor yang mengahmbat kebebasan
• Hubungan terapeutik
Tugas utama terapis adalah berusaha memahami klien sebagaimana ada dalam dunia. Secara teknis dan prosedur dalam terapi eksistesial memiliki keleluasaan dan bervariasi dari fase ke fase atau dari klien ke satu dengan klien lainnya. Tugas terapis lainya adalah membantu klien menyadari dalam dunianya. Frankl dalam Corey (2001) memberikan gambaran bahwa terapis sebagai spesialis mata daripada pelukis. Artinya tugas terapis adalah memberikan perluasan dan memperlebar pandangan klien sehingga gambaran makna dan nilai-nilai menjadi disadari dan dapat diamati oleh klien sendiri.
Hubungan terapeutik menjadi sangat penting. Hubungan terapeutik ini menekankan pada hubungan antar dua manusia yang kondusif alih-alih sebagai teknik yang mempengaruhi klien. Peretemuan ini bukan untuk membahas masalah klien tetapi peremuan ini berisikan pengalaman-pengalaman pada saat ini, bukan masa lampau. Hubunga ini teraputik yang otentik diharapkan dapat membantu membangun kesadaran klien untuk menyadari pilihan dan potensi terhadap tendakan-tindakan dalam hidupnya.
D. Aplikasi
Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien. Individu yang mengalami krisis perkembngan seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa. Mereka yang mempunyai masalah tersebut memungkinkan digali pengalaman-pengalamannya guna menjawab pertanyaan-pertanyaan hidupnya. Mereka diberikan media untuk menyadari kebbebasan dan tanggung jawan pada pilihan hidupnya.
Setiap pendekatan memiliki keterbatasan dalam penerapannya. Ketepatan pendekatan terapi eksistensial pada individu di masa perkembangan tersebut diatas, merupakan kelebihan tersendiri. Tetapi pendekatan ini juga memiliki keterbatasan misalnya
• Pendekatan ini kurang sistematis pada prinsip-prinsip dan praktek therapy
• Beberapa penulis eksistensialisme menggunakan konsep abstrak atau global dan samar-samar. Sulit untuk dipegang.
• Model belum diperlakukan pada riset sebagaimana untuk divalidasi prosedur-prosedur tersebut.
• Memiliki keterbatasan penerapan pada kasus level keberfungsian klien yang rendah, klien yang ekstrem yang membutuhkan penangan secara langsung, klien yang miskin dan klien non verbal.
E. Kritik terhadap Pendekatan Terapi Eksistensial
Berdasarkan pendekatan dalam pelaksanaan terapi, Penulis beranggapan pendekatan ini terlalu filosofis. Dengan demikian membutuhkan ketrampilan pemahaman konsep kunci secara baik dan tepat dalam menerpkan konsep filosofi yang sangat filosifis ini. Hal lain, dengan pendekatan ini membutuhkan terapis-terapis yang memilki jam terbang (praktek terapi) yang cukup tinggi. Artinya kematangan seorang terapis sangat dibutuhkan.
Proses terapi membutuhkan waktu yang panjang dan ketakpastian kapan berakhir, berapa jam dan berapa kali pertemuan. Hal lain yang perlu dipikirkan adalah produk. Apa produk yang diharapkan dari proses terapi masih berupa konsep-konsep, bukan sesuatu hal yang kongrit. Ukuran-ukuran produknya bukan menyelesaikan masalah dari malas belajar menjadi giat belajar, cemas menjadi tidak cemas, penakut menjadi pemberani atau lainnya. Pada produk perilaku sangat tergantung pada budayanya.
Berkaitan dengan kegiatan konseling di sekolah, rasanya Konselor di sekolah sulit untuk menerapkan. Konselor kesulitan mencocokan antara ekpektasi sekolah/orang tua dan tujuan konseling dengan pendektan eksistensial yang memberikan kebebasan klien dalam hal ini siswa untuk membuat pilihan sendiri. Sebagai contoh misalnya konselor yang memberikan konseling di SLB. Konselor dalam proses konselinya berpijak pada masa perkembangan anak berkebutuhan khusus (ABK). Tujuan adalah memberikan stimulasi agar siswa ABK dapat bertindak sesuai dengan masa perkembanganya. Tetapi ekpektasi sekolah menuntut orang tua agar saran-saran konselor diarahkan pada kebutuhan untuk memenuhi tuntutan sistem persekolahan.
Kritik lain adalah berkaitan dengan filosifi eksistensial tentang kebenaran. Penulis sepakat dengan tulisan George Boeree (1997) yang menuliskan bahwa Frankl sangat cerdas membungkus teorinya dengan agama secara halus dan tidak norak. Sulit rasanya untuk memperdebatkan kebenaran hanya berdasarkan pengalamannya, perasaan dan intuisi. Frankl dengan halus menanamkan pemahaman eksistensi manusia pada iman, pada penerimaan kebenaran mutlak yang didasarkan pada perasaan dan intuisi. Masalahnya adalah keinginan seseorang untuk menyerahkan diri pada kehendak Tuhan atau prinsip-prinsip universal lainnya adalah bertentangan dengan konsep eksistensial.
Daftar Pustaka
Boeree, C. George. (1997). Personality Theories, Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Jogyakarta : Prismasophie
Corey, Gerald (2001). Theory and Practice of Couisnseling and Psychotherapy. Belmount, CA : Wadsworth/Tomson Learning.
Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Depdiknas
Hendar Putranto. (.......). Menemukan Makna Bersama Viktor Frankl.
Viktor Frankl
A. Pengantar
Pada bulan September 1942, seorang dokter muda, bersama dengan istrinya, ibunya, ayahnya, dan saudaranya ditangkap di kota Wina, dan kemudian ditahan di kamp konsentrasi Bohemia. Peristiwa inilah yang nantinya akan menggetarkan hidup dokter muda itu, dan membantunya untuk menemukan apa yang sungguh-sungguh bermakna di dalam hidupnya.
Viktor Emil Frankl, MD Ph.D., itulah namanya. Lahir 26 Maret 1905 dan meninggal 2 September 1997. Ia adalah seorang neurolog dan psikiater Austria serta korban pada Kamp NASI Jerman yang selamat. Frankl adalah pendiri logoterapi dan Analisis Eksistensial, "Aliran Wina Ketiga" dalam psikoterapi. Bukunya, Man's Search for Meaning (pertama kali terbit pada 1946) mencatat pengalamannya sebagai seorang tahanan kamp konsentrasi dan menguraikan metode psikoterapisnya dalam upaya mencari makna dalam segala bentuk keberadaan, bahkan yang paling kelam sekalipun, dan dengan demikian juga alasan untuk tetap hidup. Frankl adalah salah satu tokoh utama dalam terapi eksistensial.
Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan dan kebebasan dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Dalam prakteknya, terapi eksistensial dilandasi pada asumsi-asumsi filosofis.
Terapi eksistensial berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini mengutamakan sikap yang menekankan pada pemahaman bahwa eksistensi manusia alih-alih sebagai teknik-teknik untuk mempengaruhi klien.
B. Konsep-Konsep Utama
Terapi eksistensial menekankan pandangan tentang manusia. Pada bagian ini disajikan tentang konsep-konsep utama dalam terapi eksistensial yang membentuk bagi landasan praktek terapeutik.
Kesadaran diri
Manusia hakekatnya memiliki kapasitas kesadararan diri. Manusia memiliki kesadaran untuk berpikir dan memutuskan sendiri. Para eksistensialis menekankan bahwa manusi bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya. Ia bukanlah bidak dari kekuatan-kekuatan yang deterministik dari pengondisian.
Kebebasan, tanggung jawab dan kecemasan
Ketiga kata diatas merupakan satu rangkaian yang saling berkaitan. Kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab membuat menusia dihadiri kecemasan. Kebebasan manusia diiringi tindakan yang bertanggungjawab dan bahwa keterbatasan adalah atribut manusia maka kecemasan hadir.
Penciptaan Makna
Manusia itu unik, artinya bahwa manusia akan berusaha menemukan dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupannya. Eksistensi dari keberadaab manusi itu adalah kebermaknaan dirinya dalam kehidupan. Ketika manusia gagal menciptakan kebermaknaan maka hal-hal yang terjadi adalah kesepian, kesendirian ataupun keterasingan.
C. Proses-Proses Terapeutik
• Tujuan-tujuan terapeutik
Tujuan terapi ekstensial adalah agar klien memiliki kesadaran secara otentik sehingga ia sadar akan keberadaanya dan potensi-potensinya sehingga terbuka dan bertindak sesuai dengan kemampuannya. Otentik artinya sadar akan keadaan saat ini, memilih bagaimana hidup saat ini dan memikul tanggung jawab untuk memilih. Penting sekali untuk membangun kesadaran klien untuk memutuskan suatu pilihan (memilih) sehingga ia menjadi bebas dan bertanggungjawab atas kehidupannya. Kecemasan sebagai akibat kebingungan manusia untuk memilih karena tidak ada jaminan kepastian. Maka klien harus menyadari pilihannya untuk menghadapi kecemasan dan menerima kenyataan bahwa dirinya adalah korban dari kekuatan-kekuatan deterministik diluar dirinya. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan terapeutik ekstensial adalah sebagai berikut :
1. Membantu klien melihat bahwa mereka itu bebas dan sadar atas kemungkinan-kemungkinan dalam hidupnya.
2. Menyadarkan klien bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang sedang dipikirkannya itu sedang dan sudah terjadi
3. Menyadarkan pada klien tentang faktor-faktor yang mengahmbat kebebasan
• Hubungan terapeutik
Tugas utama terapis adalah berusaha memahami klien sebagaimana ada dalam dunia. Secara teknis dan prosedur dalam terapi eksistesial memiliki keleluasaan dan bervariasi dari fase ke fase atau dari klien ke satu dengan klien lainnya. Tugas terapis lainya adalah membantu klien menyadari dalam dunianya. Frankl dalam Corey (2001) memberikan gambaran bahwa terapis sebagai spesialis mata daripada pelukis. Artinya tugas terapis adalah memberikan perluasan dan memperlebar pandangan klien sehingga gambaran makna dan nilai-nilai menjadi disadari dan dapat diamati oleh klien sendiri.
Hubungan terapeutik menjadi sangat penting. Hubungan terapeutik ini menekankan pada hubungan antar dua manusia yang kondusif alih-alih sebagai teknik yang mempengaruhi klien. Peretemuan ini bukan untuk membahas masalah klien tetapi peremuan ini berisikan pengalaman-pengalaman pada saat ini, bukan masa lampau. Hubunga ini teraputik yang otentik diharapkan dapat membantu membangun kesadaran klien untuk menyadari pilihan dan potensi terhadap tendakan-tindakan dalam hidupnya.
D. Aplikasi
Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien. Individu yang mengalami krisis perkembngan seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa. Mereka yang mempunyai masalah tersebut memungkinkan digali pengalaman-pengalamannya guna menjawab pertanyaan-pertanyaan hidupnya. Mereka diberikan media untuk menyadari kebbebasan dan tanggung jawan pada pilihan hidupnya.
Setiap pendekatan memiliki keterbatasan dalam penerapannya. Ketepatan pendekatan terapi eksistensial pada individu di masa perkembangan tersebut diatas, merupakan kelebihan tersendiri. Tetapi pendekatan ini juga memiliki keterbatasan misalnya
• Pendekatan ini kurang sistematis pada prinsip-prinsip dan praktek therapy
• Beberapa penulis eksistensialisme menggunakan konsep abstrak atau global dan samar-samar. Sulit untuk dipegang.
• Model belum diperlakukan pada riset sebagaimana untuk divalidasi prosedur-prosedur tersebut.
• Memiliki keterbatasan penerapan pada kasus level keberfungsian klien yang rendah, klien yang ekstrem yang membutuhkan penangan secara langsung, klien yang miskin dan klien non verbal.
E. Kritik terhadap Pendekatan Terapi Eksistensial
Berdasarkan pendekatan dalam pelaksanaan terapi, Penulis beranggapan pendekatan ini terlalu filosofis. Dengan demikian membutuhkan ketrampilan pemahaman konsep kunci secara baik dan tepat dalam menerpkan konsep filosofi yang sangat filosifis ini. Hal lain, dengan pendekatan ini membutuhkan terapis-terapis yang memilki jam terbang (praktek terapi) yang cukup tinggi. Artinya kematangan seorang terapis sangat dibutuhkan.
Proses terapi membutuhkan waktu yang panjang dan ketakpastian kapan berakhir, berapa jam dan berapa kali pertemuan. Hal lain yang perlu dipikirkan adalah produk. Apa produk yang diharapkan dari proses terapi masih berupa konsep-konsep, bukan sesuatu hal yang kongrit. Ukuran-ukuran produknya bukan menyelesaikan masalah dari malas belajar menjadi giat belajar, cemas menjadi tidak cemas, penakut menjadi pemberani atau lainnya. Pada produk perilaku sangat tergantung pada budayanya.
Berkaitan dengan kegiatan konseling di sekolah, rasanya Konselor di sekolah sulit untuk menerapkan. Konselor kesulitan mencocokan antara ekpektasi sekolah/orang tua dan tujuan konseling dengan pendektan eksistensial yang memberikan kebebasan klien dalam hal ini siswa untuk membuat pilihan sendiri. Sebagai contoh misalnya konselor yang memberikan konseling di SLB. Konselor dalam proses konselinya berpijak pada masa perkembangan anak berkebutuhan khusus (ABK). Tujuan adalah memberikan stimulasi agar siswa ABK dapat bertindak sesuai dengan masa perkembanganya. Tetapi ekpektasi sekolah menuntut orang tua agar saran-saran konselor diarahkan pada kebutuhan untuk memenuhi tuntutan sistem persekolahan.
Kritik lain adalah berkaitan dengan filosifi eksistensial tentang kebenaran. Penulis sepakat dengan tulisan George Boeree (1997) yang menuliskan bahwa Frankl sangat cerdas membungkus teorinya dengan agama secara halus dan tidak norak. Sulit rasanya untuk memperdebatkan kebenaran hanya berdasarkan pengalamannya, perasaan dan intuisi. Frankl dengan halus menanamkan pemahaman eksistensi manusia pada iman, pada penerimaan kebenaran mutlak yang didasarkan pada perasaan dan intuisi. Masalahnya adalah keinginan seseorang untuk menyerahkan diri pada kehendak Tuhan atau prinsip-prinsip universal lainnya adalah bertentangan dengan konsep eksistensial.
Daftar Pustaka
Boeree, C. George. (1997). Personality Theories, Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Jogyakarta : Prismasophie
Corey, Gerald (2001). Theory and Practice of Couisnseling and Psychotherapy. Belmount, CA : Wadsworth/Tomson Learning.
Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Depdiknas
Hendar Putranto. (.......). Menemukan Makna Bersama Viktor Frankl.
IDENTIFIKASI ANAK AUTISTIK
Jika Anda melihat dan merasakan bahwa anak Anda memiliki perkembangan yang berbeda dibanding dengan anak-anak seusianya, maka anda harus lebih jeli melihatnya. Perhatikan secara lebih detail, kontinyu, bila perlu catat hal-hal yang dikira kurang proporsional. Datang ke dokter, psikolog (keduanya yang memfokuskan pada anak kebutuhan khusus, Autistik), terapis anak kebutuhan khusus (di center-center) atau diskusikan dengan tetangga, kerabat, teman atau orang yang berpengalaman dengan anak berkebutuhan khusus.
Bila Anda menduga anak Anda adalah anak autistik, Anda dapat menggunakan panduan untuk mengecek apa sebenarnya yang terjadi pada anak anda.
1. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT),
2. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM IV).
3. My Child’s Sensory Preference
Add.1. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT)
The Checklist for Autism in Toddlers is a screening tool to be used by GP's during the 18 month developmental checkup.
Section A - Ask Parent: (Pertanyaan untuk orang tua)
Yes or No?
____ 1) Does your child enjoy being swung, bounced on your knee, etc?
(Apakah anak anda senang diayun, digoyang-goyang di atas lutut ?
____ 2) Does your child take an interest in other children?
(Apakah anak anda tertarik pada anak lainnya ?)
____ 3) Does your child like climbing on things, such as up stairs?
(Apakah anak anda suka manjat-manjat pada benda misalnya tangga ?)
____ 4) Does your child enjoy playing peek-a-boo/hide-and-seek?
(Apakah anak anda suka main ciluk ba atau petak umpet ?)
____ *5) Does your child ever pretend, for example, to make a cup of tea using a toy cup and teapot, or pretend other things?
(Apakah anak anda pernah bermain pura-pura misalnya membuat secangkir teh menggunakan mainan berbentuk cangkir dan teko, atau permainan lain ?)
____ 6) Does your child ever use his/her index finger to point, to ask for something?
(Apakah anak anda pernah menggunakan jarinya untuk menunjuk dengan tujuan meminta sesuatu ?)
____ *7) Does your child ever use his/her index finger to point, to indicate interest in something?
(Apakah anak anda pernah menggunakan jari untuk menunjuk yang mengindikasikan ketertarikan pada sesuatu ?)
____ 8) Can your child play properly with small toys (e.g. cars or bricks) without just mouthing, fiddling, or dropping them?
(Dapatkah anak anda bermain dengan mainan yang kecil (misalnya mobil mainan atau balok-balok) tanpa mengucapkan kata dibuat buat, menggesek, atau menjatuhkannya ?)
____ 9) Does your child ever bring objects over to you, to show you something?
(Apakah anak anda pernah memberikan suatu benda pada anda untuk menunjukkan sesuatu pada anda ?)
Section B - GP's observation (Pengamatan)
Yes or No?
____ i) During the appointment, has the child made eye contact with you?
(Selama pemeriksaan apakah anak menatap (kontak mata dengan) pemeriksa ?
____ *ii) Get child's attention, then point across the room at an interesting object and say "Oh look! There's a (name a toy)!" Watch child's face. Does the child look across to see what you are pointing at?
(Tarik perhatian anak, kemudian pemeriksa menunjuk sesuatu yang menarik dan katakan : "Lihat, itu. Ada mobil-mobilan (atau mainan lain)" Perhatikan mata anak, apakah anak melihat ke benda yang anda tunjuk.)
NOTE - to record yes on this item, ensure the child has not simply looked at your hand, but has actually looked at the object you are pointing at.
Catatan : untuk mencatat ya pada item ini, pastikan anak anda tidak melihat tangan anda, tetapi benar-benar melihat pada objek yang anda tunjuk.
____ *iii) Get the child's attention, then give child a miniature toy cup and teapot and say "Can you make a cup of tea?" Does the child pretend to pour out the tea, drink it etc?
(Tarik perhatian anak, berikan mainan gelas / cangkir dan teko dan katakan pada anak anda : "Bisa buat secangkir teh ? Apakah anak berpura-pura menuang teh, minum dan lainya).
NOTE - if you can elicit an example of pretending in some other game, score a yes on this item
Catatan : Jika anak dapat melakukan misalnya bermain pura-pura beberapa permainan, maka jawabanya ; Ya.
____ *iv) Say to the child "Where's the light?" or "Show me the light". Does the child point with his/her index finger at the light?
(Tanyakan pada anak : "Coba tunjuk mana cahaya ? (nama benda lain yang dikenal anak dan ada disekitar kita). Apakah anak menunjukkan dengan jarinya ?
NOTE - Repeat this with "Where's the teddy?" or some other unreachable object, if child does not understand the word "light". To record yes on this item, the child must have looked up at your face around the time of pointing.
Catatan : Ulangi lagi pertanyaan lainnya atau pada objek lain yang tak dapat dijangkau, jika anak tidak memahami “cahaya”. Catat Ya, jika anak melihat kearah wajah anda pada waktu anak menunjuk.
____ v) Can the child build a tower of bricks? (If so, how many?) (Number of bricks...)
(Dapatkah anak anda menyusun kubus / balok menjadi suatu menara ?(berapa jumlahnya….)
* Indicates critical question most indicative of autistic characteristics
British Journal of Psychiatry (1996), 168, pp. 158-163
British Journal of Psychiatry (1992), 161, pp. 839-843
Diterjemahkan oleh : Joko Yuwono
Add. 2. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM IV):
DIAGNOSTIC CRITERIA FOR 299.00 AUTISTIC DISORDER
A. A total of six (or more) items from (1), (2), and (3), with at
least two from (1), and one each from (2) and (3)
(1) qualitative impairment in social interaction, as manifested by at least two of the following:
a) marked impairments in the use of multiple nonverbal behaviors such as eye-to-eye gaze, facial expression, body posture, and gestures to regulate social interaction
b) failure to develop peer relationships appropriate to developmental level
c) a lack of spontaneous seeking to share enjoyment, interests, or chievements with other people, (e.g., by a lack of showing, bringing, or pointing out objects of interest to other people)
d) lack of social or emotional reciprocity ( note: in the description, it gives the following as examples: not actively participating in simple social play or games, preferring solitary activities, or involving others in activities only as tools or "mechanical" aids )
(2) qualitative impairments in communication as manifested by at least one of the following:
a) delay in, or total lack of, the development of spoken language (not accompanied by an attempt to compensate through alternative modes of communication such as gesture or mime).
b) in individuals with adequate speech, marked impairment in the ability to initiate or sustain a conversation with others
c) stereotyped and repetitive use of language or idiosyncratic
language.
d) lack of varied, spontaneous make-believe play or social
imitative play appropriate to developmental level
(3) restricted repetitive and stereotyped patterns of behavior, interests and activities, as manifested by at least two of the following:
a) encompassing preoccupation with one or more stereotyped and restricted patterns of interest that is abnormal either in intensity or focus
b) apparently inflexible adherence to specific, nonfunctional routines or rituals
c) stereotyped and repetitive motor mannerisms (e.g hand or finger flapping or twisting, or complex whole body movements)
d) persistent preoccupation with parts of objects
B. Delays or abnormal functioning in at least one of the following areas, with onset prior to age 3 years:
(1) social interaction
(2) language as used in social communication
(3) symbolic or imaginative play
C. The disturbance is not better accounted for by Rett's Disorder or Childhood Disintegrative Disorder
Diambil dari : Autism Symtoms Checklist (Online)
Add. 3. SENSORY PREFERENCES.
Amati kecenderungan pilihan sensori anak Anda
1. GERAKAN (MOVEMENT)
● Anak saya kurang sensitive dan mencari kebutuhan gerak dengan :
□ Melompat
□ Bergoyang-goyang
□ Berputar
□ Permainan yang kacau dan kasar seperti melempar-lempar benda ke udara
□ Lari mondar-mandir
□ Lainnya....................
● Anak saya sangat sensitive terhadap gerakan.
□ Menunjukkan ketakutan pada tangga/eskalator
□ Menunjukkan ketakutan pada ayunan, barjalan terhuyung-huyung, dan meluncur (prosotan)
□ Gerakan mobil
□ Lainnya.............
● Anak saya kesulitan dalam perencanaan gerak.
□ Gerakan kaku atau menabrak-nabrak sesuatu.
□ Tidak menggunakan mainan secara tepat.
□ Menggunakan jenis mainan itu-itu saja.
□ Tidak meniru apa yang saya lakukan.
□ Ia hanya melakukan aktivitas hanya sekali saja.
□ Bergerak tanpa tujuan.
□ Berbaring tiduran
□ Memiliki masalah dalam meniup lilin.
□ Ia memahami saya tetapi tidak berbicara.
□ Ia memiliki masalah untuk menemukan kata yang ia telah katakan sebelumnya.
□ Ia salah dalam melafatlkan kata
□ Memiliki suara yang tidak umum
□ Lainnya....................
2. SENTUHAN (TOUCH)
● Anak saya kurang sensitif pada sentuhan dan mencarinya.
□ Ingin dipeluk lama
□ Menyembunyikan dirinya dalam selimut.
□ Menekan dirinya dalam tempat yang padat/sempit. (sembunyi dibalik dipan, lemari)
□ Memakai pakaian yang ketat/pas.
□ Barbaring dilantai.
□ Menabrak orang.
□ Bertepuk tangan.
□ Memegang benda.
□ Meletakkan benda ke mulut (”mengemut”).
□ Mengkertak giginya.
□ Jarang menangis ketika ia terluka.
□ Lainnya.....................
● Anak saya sangat sensitif pada sentuhan.
□ Ia tidak suka dengan sesuatu yang lengket di tangan (playdough, lumpur dan cat).
□ Ia suka atau tidak suka dengan tekstur baju tertentu.
□ Ia tidak suka memakai topi dan sarung tangan.
□ Ia tidak suka keramas dan potong rambut.
□ Ia tidak suka makanan kering dan kenyal.
□ Lainnya.....................
3. BUNYI (SOUND)
● Anak saya kurang sensitif pada suara.
□ Ia tidak datang/muncul untuk mendengarkan apa yang orang katakan.
□ Ia menyukai meusik dan bunyi-bunyi tertentu.
□ Ia menyuakai mainan yang membuat bunyi-bunyi tertentu.
□ Ia menyuakai sesuatu ketika saya mengatakan sesuatu dengan cara yang mengasyikkan.
□ Lainnya.....................
● Anak saya sangat sensitif pada bunyi dan menghidarinya.
□ Ia menutup telinganya.
□ Ia menangis ketika saya menggunakan alat-alat seperti vakum, mesin pencuci piring, pengering rambut dsb.
□ Ia menyukai sesuatu ketika saya menggunakan bunyi-bunyi yang lembut.
□ Ia dapat mendengar bunyi-bunyi yang pelan.
□ Lainnya.....................
4. PENGLIHATAN (SIGHT)
● Anak saya terlalu sensitif pada sesuatu yang ia lihat dan mencari sensasi visual dengan :
□ Menekan on of pada lampu.
□ Melihat gerakan secara berulang-ulang. (membola-balik halaman buku, buka tutup pintu, gerakan jari ke depan mukanya).
□ Sesuatu yang berlapis-lapis.
□ Melihat sesuatu dengan sudut pnadangan matanya.
□ Melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda.
□ Lainnya.....................
● Anak saya terlalu sensitif pada apa yang ia lihat dan menhindari beberapa sensasi visual.
□ Memilih kegelapan.
□ Ia sering mengkedip-kedipkan.
□ Menghindari matahari.
□ Lainnya.....................
5. BAU DAN RASA (SMELL AND TASTE)
● Anak saya kurang sensitif pada beberapa bau atau rasa dan mencari sensai tersebut.
□ Ia menjelajah sesuatu dengan menjilat atau mencium (membaunya).
□ Ia menyukai makanan yang banyak bumbunya. (sangat asin)
□ Lainnya.....................
● Anak saya terlalu sensitif pada beberapa bau atau rasa dan menhindari beberapa sensasi tersebut.
□ Ia menykai makanan yang telah dihaluskan (blander).
□ Ia sensitif pada bau tertentu (parfum).
□ Lainnya.....................
Catatan : diambil dari Fern Sussman, 1999. More than Words. Hanen Center Publication.
Diterjemahkan oleh Joko Yuwono. 22 April 2010
Bila Anda menduga anak Anda adalah anak autistik, Anda dapat menggunakan panduan untuk mengecek apa sebenarnya yang terjadi pada anak anda.
1. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT),
2. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM IV).
3. My Child’s Sensory Preference
Add.1. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT)
The Checklist for Autism in Toddlers is a screening tool to be used by GP's during the 18 month developmental checkup.
Section A - Ask Parent: (Pertanyaan untuk orang tua)
Yes or No?
____ 1) Does your child enjoy being swung, bounced on your knee, etc?
(Apakah anak anda senang diayun, digoyang-goyang di atas lutut ?
____ 2) Does your child take an interest in other children?
(Apakah anak anda tertarik pada anak lainnya ?)
____ 3) Does your child like climbing on things, such as up stairs?
(Apakah anak anda suka manjat-manjat pada benda misalnya tangga ?)
____ 4) Does your child enjoy playing peek-a-boo/hide-and-seek?
(Apakah anak anda suka main ciluk ba atau petak umpet ?)
____ *5) Does your child ever pretend, for example, to make a cup of tea using a toy cup and teapot, or pretend other things?
(Apakah anak anda pernah bermain pura-pura misalnya membuat secangkir teh menggunakan mainan berbentuk cangkir dan teko, atau permainan lain ?)
____ 6) Does your child ever use his/her index finger to point, to ask for something?
(Apakah anak anda pernah menggunakan jarinya untuk menunjuk dengan tujuan meminta sesuatu ?)
____ *7) Does your child ever use his/her index finger to point, to indicate interest in something?
(Apakah anak anda pernah menggunakan jari untuk menunjuk yang mengindikasikan ketertarikan pada sesuatu ?)
____ 8) Can your child play properly with small toys (e.g. cars or bricks) without just mouthing, fiddling, or dropping them?
(Dapatkah anak anda bermain dengan mainan yang kecil (misalnya mobil mainan atau balok-balok) tanpa mengucapkan kata dibuat buat, menggesek, atau menjatuhkannya ?)
____ 9) Does your child ever bring objects over to you, to show you something?
(Apakah anak anda pernah memberikan suatu benda pada anda untuk menunjukkan sesuatu pada anda ?)
Section B - GP's observation (Pengamatan)
Yes or No?
____ i) During the appointment, has the child made eye contact with you?
(Selama pemeriksaan apakah anak menatap (kontak mata dengan) pemeriksa ?
____ *ii) Get child's attention, then point across the room at an interesting object and say "Oh look! There's a (name a toy)!" Watch child's face. Does the child look across to see what you are pointing at?
(Tarik perhatian anak, kemudian pemeriksa menunjuk sesuatu yang menarik dan katakan : "Lihat, itu. Ada mobil-mobilan (atau mainan lain)" Perhatikan mata anak, apakah anak melihat ke benda yang anda tunjuk.)
NOTE - to record yes on this item, ensure the child has not simply looked at your hand, but has actually looked at the object you are pointing at.
Catatan : untuk mencatat ya pada item ini, pastikan anak anda tidak melihat tangan anda, tetapi benar-benar melihat pada objek yang anda tunjuk.
____ *iii) Get the child's attention, then give child a miniature toy cup and teapot and say "Can you make a cup of tea?" Does the child pretend to pour out the tea, drink it etc?
(Tarik perhatian anak, berikan mainan gelas / cangkir dan teko dan katakan pada anak anda : "Bisa buat secangkir teh ? Apakah anak berpura-pura menuang teh, minum dan lainya).
NOTE - if you can elicit an example of pretending in some other game, score a yes on this item
Catatan : Jika anak dapat melakukan misalnya bermain pura-pura beberapa permainan, maka jawabanya ; Ya.
____ *iv) Say to the child "Where's the light?" or "Show me the light". Does the child point with his/her index finger at the light?
(Tanyakan pada anak : "Coba tunjuk mana cahaya ? (nama benda lain yang dikenal anak dan ada disekitar kita). Apakah anak menunjukkan dengan jarinya ?
NOTE - Repeat this with "Where's the teddy?" or some other unreachable object, if child does not understand the word "light". To record yes on this item, the child must have looked up at your face around the time of pointing.
Catatan : Ulangi lagi pertanyaan lainnya atau pada objek lain yang tak dapat dijangkau, jika anak tidak memahami “cahaya”. Catat Ya, jika anak melihat kearah wajah anda pada waktu anak menunjuk.
____ v) Can the child build a tower of bricks? (If so, how many?) (Number of bricks...)
(Dapatkah anak anda menyusun kubus / balok menjadi suatu menara ?(berapa jumlahnya….)
* Indicates critical question most indicative of autistic characteristics
British Journal of Psychiatry (1996), 168, pp. 158-163
British Journal of Psychiatry (1992), 161, pp. 839-843
Diterjemahkan oleh : Joko Yuwono
Add. 2. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM IV):
DIAGNOSTIC CRITERIA FOR 299.00 AUTISTIC DISORDER
A. A total of six (or more) items from (1), (2), and (3), with at
least two from (1), and one each from (2) and (3)
(1) qualitative impairment in social interaction, as manifested by at least two of the following:
a) marked impairments in the use of multiple nonverbal behaviors such as eye-to-eye gaze, facial expression, body posture, and gestures to regulate social interaction
b) failure to develop peer relationships appropriate to developmental level
c) a lack of spontaneous seeking to share enjoyment, interests, or chievements with other people, (e.g., by a lack of showing, bringing, or pointing out objects of interest to other people)
d) lack of social or emotional reciprocity ( note: in the description, it gives the following as examples: not actively participating in simple social play or games, preferring solitary activities, or involving others in activities only as tools or "mechanical" aids )
(2) qualitative impairments in communication as manifested by at least one of the following:
a) delay in, or total lack of, the development of spoken language (not accompanied by an attempt to compensate through alternative modes of communication such as gesture or mime).
b) in individuals with adequate speech, marked impairment in the ability to initiate or sustain a conversation with others
c) stereotyped and repetitive use of language or idiosyncratic
language.
d) lack of varied, spontaneous make-believe play or social
imitative play appropriate to developmental level
(3) restricted repetitive and stereotyped patterns of behavior, interests and activities, as manifested by at least two of the following:
a) encompassing preoccupation with one or more stereotyped and restricted patterns of interest that is abnormal either in intensity or focus
b) apparently inflexible adherence to specific, nonfunctional routines or rituals
c) stereotyped and repetitive motor mannerisms (e.g hand or finger flapping or twisting, or complex whole body movements)
d) persistent preoccupation with parts of objects
B. Delays or abnormal functioning in at least one of the following areas, with onset prior to age 3 years:
(1) social interaction
(2) language as used in social communication
(3) symbolic or imaginative play
C. The disturbance is not better accounted for by Rett's Disorder or Childhood Disintegrative Disorder
Diambil dari : Autism Symtoms Checklist (Online)
Add. 3. SENSORY PREFERENCES.
Amati kecenderungan pilihan sensori anak Anda
1. GERAKAN (MOVEMENT)
● Anak saya kurang sensitive dan mencari kebutuhan gerak dengan :
□ Melompat
□ Bergoyang-goyang
□ Berputar
□ Permainan yang kacau dan kasar seperti melempar-lempar benda ke udara
□ Lari mondar-mandir
□ Lainnya....................
● Anak saya sangat sensitive terhadap gerakan.
□ Menunjukkan ketakutan pada tangga/eskalator
□ Menunjukkan ketakutan pada ayunan, barjalan terhuyung-huyung, dan meluncur (prosotan)
□ Gerakan mobil
□ Lainnya.............
● Anak saya kesulitan dalam perencanaan gerak.
□ Gerakan kaku atau menabrak-nabrak sesuatu.
□ Tidak menggunakan mainan secara tepat.
□ Menggunakan jenis mainan itu-itu saja.
□ Tidak meniru apa yang saya lakukan.
□ Ia hanya melakukan aktivitas hanya sekali saja.
□ Bergerak tanpa tujuan.
□ Berbaring tiduran
□ Memiliki masalah dalam meniup lilin.
□ Ia memahami saya tetapi tidak berbicara.
□ Ia memiliki masalah untuk menemukan kata yang ia telah katakan sebelumnya.
□ Ia salah dalam melafatlkan kata
□ Memiliki suara yang tidak umum
□ Lainnya....................
2. SENTUHAN (TOUCH)
● Anak saya kurang sensitif pada sentuhan dan mencarinya.
□ Ingin dipeluk lama
□ Menyembunyikan dirinya dalam selimut.
□ Menekan dirinya dalam tempat yang padat/sempit. (sembunyi dibalik dipan, lemari)
□ Memakai pakaian yang ketat/pas.
□ Barbaring dilantai.
□ Menabrak orang.
□ Bertepuk tangan.
□ Memegang benda.
□ Meletakkan benda ke mulut (”mengemut”).
□ Mengkertak giginya.
□ Jarang menangis ketika ia terluka.
□ Lainnya.....................
● Anak saya sangat sensitif pada sentuhan.
□ Ia tidak suka dengan sesuatu yang lengket di tangan (playdough, lumpur dan cat).
□ Ia suka atau tidak suka dengan tekstur baju tertentu.
□ Ia tidak suka memakai topi dan sarung tangan.
□ Ia tidak suka keramas dan potong rambut.
□ Ia tidak suka makanan kering dan kenyal.
□ Lainnya.....................
3. BUNYI (SOUND)
● Anak saya kurang sensitif pada suara.
□ Ia tidak datang/muncul untuk mendengarkan apa yang orang katakan.
□ Ia menyukai meusik dan bunyi-bunyi tertentu.
□ Ia menyuakai mainan yang membuat bunyi-bunyi tertentu.
□ Ia menyuakai sesuatu ketika saya mengatakan sesuatu dengan cara yang mengasyikkan.
□ Lainnya.....................
● Anak saya sangat sensitif pada bunyi dan menghidarinya.
□ Ia menutup telinganya.
□ Ia menangis ketika saya menggunakan alat-alat seperti vakum, mesin pencuci piring, pengering rambut dsb.
□ Ia menyukai sesuatu ketika saya menggunakan bunyi-bunyi yang lembut.
□ Ia dapat mendengar bunyi-bunyi yang pelan.
□ Lainnya.....................
4. PENGLIHATAN (SIGHT)
● Anak saya terlalu sensitif pada sesuatu yang ia lihat dan mencari sensasi visual dengan :
□ Menekan on of pada lampu.
□ Melihat gerakan secara berulang-ulang. (membola-balik halaman buku, buka tutup pintu, gerakan jari ke depan mukanya).
□ Sesuatu yang berlapis-lapis.
□ Melihat sesuatu dengan sudut pnadangan matanya.
□ Melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda.
□ Lainnya.....................
● Anak saya terlalu sensitif pada apa yang ia lihat dan menhindari beberapa sensasi visual.
□ Memilih kegelapan.
□ Ia sering mengkedip-kedipkan.
□ Menghindari matahari.
□ Lainnya.....................
5. BAU DAN RASA (SMELL AND TASTE)
● Anak saya kurang sensitif pada beberapa bau atau rasa dan mencari sensai tersebut.
□ Ia menjelajah sesuatu dengan menjilat atau mencium (membaunya).
□ Ia menyukai makanan yang banyak bumbunya. (sangat asin)
□ Lainnya.....................
● Anak saya terlalu sensitif pada beberapa bau atau rasa dan menhindari beberapa sensasi tersebut.
□ Ia menykai makanan yang telah dihaluskan (blander).
□ Ia sensitif pada bau tertentu (parfum).
□ Lainnya.....................
Catatan : diambil dari Fern Sussman, 1999. More than Words. Hanen Center Publication.
Diterjemahkan oleh Joko Yuwono. 22 April 2010
HOLDING THERAPY BAGI ANAK AUTISTIK
Tingkat Kemampuan/Umur Intervensi :
• Disarankan anak usia sejak lahir hingga 10 bulan.
• Disarankan pada kelompok diagnosis dan berhubungan dengan karakteristik-karakteristik seperti : ASD tingkat sedang-menengah, Asperger syndrome dan disabilities lainnya.
• Disarankan pada level kemampuan kecerdasan rata-rata ke atas.
Diskripsi Intervensi
Secara umum sebagian dari kita telah mengetahui tentang holding therapy yang berhubungan dengan ASD. Holding Time telah dikembangkan oleh psikiatrik anak Marta Welch (1988). Pendekatan Welch didasarkan pada perkembangan terapi-terapi dan penelitian di Jerman pada tahun 1980-an (Stades-Veth, 1988)sebagaimana didiskripsikan dalam bukunya, Holding Time (1988). Hipotesis yang mendasarinya adalah bahwa anak-anak ASD dan gangguan yang berhubungan dengannya memiliki kesulitan dalam berhubungan dengan ibu mereka. Jadi, berdasarkan perpecahan hubungan tersebut, withdrawal merupakan bentuk dari defense mechanism. Holding therapy didasarkan pada ide bahwa kontak secara fisik dan emosional yang kuat melalui hubungan anak dan ibu (mother-child holding) akan memperbaiki ikatan yang rusak antara anak dengan ibu dan hal ini merupkan bentuk fondasi pada perkembangan yang normal.
Ada tiga bagian pada urutan dalam Holding Time : 1) confrontation, 2) rejection dan 3) resulotion. Selama tahap konfrontasi, posisi anak dan ibu berada pada posisi mereka sendiri dan juga mereka dengan mudah menciptakan kontak mata dan ”hold” antara mereka. Ibu dapat menuntut/meminta dengan tegas kontak mata dengan anak dan kadang-kadang menggunakan kekuatan secara fisik. Selanjutnya, ibu mulai menemukan dan menyatakan komunikasi tentang sesuatu perasaan. Hal ini mengarah pada penolakan anak, diketahui sebagai tahap rejection. Selama tahap ini, ibu melanjutkan hold pada anak tanpa masalah bagaimana anak melakukan perlawanan. Dengan maksud mengirimkan pesan bahwa tidak ada yang sesuatu yang datang antara kita – bukan kemarahan anda dan bukan kemarahan saya” (Welch, 1988a, p. 52). Tahap penolakan berlanjut hingga penghindaran perilaku yang memberikan jalan kedekatan secara fisisk dan verbal (resolution stage) dengan perkembangan yang kuat, kecintaan selama ikatan menjadi tujuan pokok.
Reported Benefits and Effects of Intervention
Welch (1988b) mengklaim bahwa bebarapa anak-anak ASD telah tertangani dengan penuh dari kesulitan dan mencapai perkembangan yang normal dan sebagian besar lainnya menunjukkan beberapa perkembangan secara kognitif, emosi dan spikologis setelah ditangani dengan versi holding therapy ibu dan anak. Ia melaporkan hasil yang sama pada anak-anak dengan oppositional defiant disorder, conduct disorder (gangguan perilaku), depression, developmental disorders dan gangguan perilaku lainnya. Bagaimanapun juga, klaim ini secara luas didasarkan pada anekdot studi kasus dengan sedikit atau tanpa penelitian lapangan yang mendukung hal tersebut.
Penulis N Setting Umur/Gender Diagnosis Hasil/Temuan Comments
Welch
(1988b) 10 Clinic atau rumah 3-13 th.
Lk atau Pr Autistik Semua subjek menunjukkan beberapa perkembangan tetapi satu parameter pada Behavior Rating Instrument for Autistic and Other Atypical Children (BRIAAC) Tidak ada kelompok kontrol
Perpaduan Bagaimana Hasil yang Berhubungan dengan Kegunaan pada Intervensi Individu ASD
Holding Therapy diciptakan untuk menangani individu dengan ganguan yang diduga disebabkan, setidaknya dalam bagian kegagalan untuk mengembangkan ikatan yang cukup dengan pengasuh utama. Welch meyakini bahwa bagi bebarapa individu ASD menyebabkan gangguan mereka dan untuk itu merekomendasikan holding therapy bagi populasi ini.
Kualifikasi Individu yang Menerapkan Intervensi dan Bagaimana, Dimana dan Kapan Holding Therapy Dilakukan.
Holding therapy dilakukan oleh ibu dengan dukungan dari bapak atau anggota keluarga lainnya dibawah supervisi dan difasilitasi dengan training terapis di United States : New York City; Greenwich, Connecticut; dan Chautauqua. Holding therapy dapat dilakukan dalam waktu dan lokasi yang tepat setelah dilakukan pelatihan secara lengkap.
Resiko-Resiko yang Mungkin Dalam Intervensi
Beberapa intervensi melibatkan kekuatan secara fisik dan psikologis yang besar. Beberapa kritik pada Holding Therapy menjadikan beberapa argumen-argumen perlawanan. Argumentasi tersebut termasuk 1) disturbingly (menggelisahkan atau mengganggu), anak-anak yang berpengalaman dengan holding therapy mungkin belajar untuk berpura-pura berperilaku akrab. 2) Kekuatan hubungan mungkin berpotensi menyebabkan ketidaknyamanan secara ekstrem ketika dilakukan pada anak-anak yang memiliki tactile defensiveness (tidak nyaman dengan sentuhan-sentuhan), hipersensitivity dan kesulitan dalam membuat/mempertahankan kontak mata. 3) Kekuatan holding thearpy terletak pada tangan orang dewasa bahwa anak-anak mencintai dan percaya yang munkin secara psikologis merusak daripada keuntungan. 4) Orang tua yang menggunakan holding therapy mungkin memiliki harapan yang tidak realistik bahwa anak mereka dapat disembuhkan dari autistik atau gangguan lainnya dimana mungkin sangat efektif mempengaruhi pada keluarga jika usaha mereka terbukti menjadi sia-sia.
Metode Evaluasi yang Tepat Untuk Intervensi Individu ASD
Beberapa filosofi atau metode penanganan harus didasarkan pada kebutuhan anak secara individual dan metode harus dimonitor untuk menetapakn kemanjuran intervensi. Sampai saat ini, holding therapy belum dilakukan evaluasi secara keilmuan secara sungguh-sungguh.
Kesimpulan
Holding therapy atau holding time merupakan terapi yang didesain untuk mengembangkan keberfungsian individu-individu ASD dan gangguan lain yang berhubungan dengan memulihkan dan menguatkan ikatan antara anak dan ibunya atau pengasuh. Bagaimanapun, hipotesis bahwa autism spectrum disosoders diakibatkan oleh pudarnya tali ikatan ibu dan anak yang belum didukung oleh bukti secara empirik. Mengingat fakta bahwa sedikit studi pengetahuan yang dilakukan untuk mendukung bukti secara empirik bagi keefektifan holding therapy therapy dan secara potensial resiko-resiko secara serius intervensi ini. Holding therapy belum direkomendasikan bagi individu-individu ASD.
• Disarankan anak usia sejak lahir hingga 10 bulan.
• Disarankan pada kelompok diagnosis dan berhubungan dengan karakteristik-karakteristik seperti : ASD tingkat sedang-menengah, Asperger syndrome dan disabilities lainnya.
• Disarankan pada level kemampuan kecerdasan rata-rata ke atas.
Diskripsi Intervensi
Secara umum sebagian dari kita telah mengetahui tentang holding therapy yang berhubungan dengan ASD. Holding Time telah dikembangkan oleh psikiatrik anak Marta Welch (1988). Pendekatan Welch didasarkan pada perkembangan terapi-terapi dan penelitian di Jerman pada tahun 1980-an (Stades-Veth, 1988)sebagaimana didiskripsikan dalam bukunya, Holding Time (1988). Hipotesis yang mendasarinya adalah bahwa anak-anak ASD dan gangguan yang berhubungan dengannya memiliki kesulitan dalam berhubungan dengan ibu mereka. Jadi, berdasarkan perpecahan hubungan tersebut, withdrawal merupakan bentuk dari defense mechanism. Holding therapy didasarkan pada ide bahwa kontak secara fisik dan emosional yang kuat melalui hubungan anak dan ibu (mother-child holding) akan memperbaiki ikatan yang rusak antara anak dengan ibu dan hal ini merupkan bentuk fondasi pada perkembangan yang normal.
Ada tiga bagian pada urutan dalam Holding Time : 1) confrontation, 2) rejection dan 3) resulotion. Selama tahap konfrontasi, posisi anak dan ibu berada pada posisi mereka sendiri dan juga mereka dengan mudah menciptakan kontak mata dan ”hold” antara mereka. Ibu dapat menuntut/meminta dengan tegas kontak mata dengan anak dan kadang-kadang menggunakan kekuatan secara fisik. Selanjutnya, ibu mulai menemukan dan menyatakan komunikasi tentang sesuatu perasaan. Hal ini mengarah pada penolakan anak, diketahui sebagai tahap rejection. Selama tahap ini, ibu melanjutkan hold pada anak tanpa masalah bagaimana anak melakukan perlawanan. Dengan maksud mengirimkan pesan bahwa tidak ada yang sesuatu yang datang antara kita – bukan kemarahan anda dan bukan kemarahan saya” (Welch, 1988a, p. 52). Tahap penolakan berlanjut hingga penghindaran perilaku yang memberikan jalan kedekatan secara fisisk dan verbal (resolution stage) dengan perkembangan yang kuat, kecintaan selama ikatan menjadi tujuan pokok.
Reported Benefits and Effects of Intervention
Welch (1988b) mengklaim bahwa bebarapa anak-anak ASD telah tertangani dengan penuh dari kesulitan dan mencapai perkembangan yang normal dan sebagian besar lainnya menunjukkan beberapa perkembangan secara kognitif, emosi dan spikologis setelah ditangani dengan versi holding therapy ibu dan anak. Ia melaporkan hasil yang sama pada anak-anak dengan oppositional defiant disorder, conduct disorder (gangguan perilaku), depression, developmental disorders dan gangguan perilaku lainnya. Bagaimanapun juga, klaim ini secara luas didasarkan pada anekdot studi kasus dengan sedikit atau tanpa penelitian lapangan yang mendukung hal tersebut.
Penulis N Setting Umur/Gender Diagnosis Hasil/Temuan Comments
Welch
(1988b) 10 Clinic atau rumah 3-13 th.
Lk atau Pr Autistik Semua subjek menunjukkan beberapa perkembangan tetapi satu parameter pada Behavior Rating Instrument for Autistic and Other Atypical Children (BRIAAC) Tidak ada kelompok kontrol
Perpaduan Bagaimana Hasil yang Berhubungan dengan Kegunaan pada Intervensi Individu ASD
Holding Therapy diciptakan untuk menangani individu dengan ganguan yang diduga disebabkan, setidaknya dalam bagian kegagalan untuk mengembangkan ikatan yang cukup dengan pengasuh utama. Welch meyakini bahwa bagi bebarapa individu ASD menyebabkan gangguan mereka dan untuk itu merekomendasikan holding therapy bagi populasi ini.
Kualifikasi Individu yang Menerapkan Intervensi dan Bagaimana, Dimana dan Kapan Holding Therapy Dilakukan.
Holding therapy dilakukan oleh ibu dengan dukungan dari bapak atau anggota keluarga lainnya dibawah supervisi dan difasilitasi dengan training terapis di United States : New York City; Greenwich, Connecticut; dan Chautauqua. Holding therapy dapat dilakukan dalam waktu dan lokasi yang tepat setelah dilakukan pelatihan secara lengkap.
Resiko-Resiko yang Mungkin Dalam Intervensi
Beberapa intervensi melibatkan kekuatan secara fisik dan psikologis yang besar. Beberapa kritik pada Holding Therapy menjadikan beberapa argumen-argumen perlawanan. Argumentasi tersebut termasuk 1) disturbingly (menggelisahkan atau mengganggu), anak-anak yang berpengalaman dengan holding therapy mungkin belajar untuk berpura-pura berperilaku akrab. 2) Kekuatan hubungan mungkin berpotensi menyebabkan ketidaknyamanan secara ekstrem ketika dilakukan pada anak-anak yang memiliki tactile defensiveness (tidak nyaman dengan sentuhan-sentuhan), hipersensitivity dan kesulitan dalam membuat/mempertahankan kontak mata. 3) Kekuatan holding thearpy terletak pada tangan orang dewasa bahwa anak-anak mencintai dan percaya yang munkin secara psikologis merusak daripada keuntungan. 4) Orang tua yang menggunakan holding therapy mungkin memiliki harapan yang tidak realistik bahwa anak mereka dapat disembuhkan dari autistik atau gangguan lainnya dimana mungkin sangat efektif mempengaruhi pada keluarga jika usaha mereka terbukti menjadi sia-sia.
Metode Evaluasi yang Tepat Untuk Intervensi Individu ASD
Beberapa filosofi atau metode penanganan harus didasarkan pada kebutuhan anak secara individual dan metode harus dimonitor untuk menetapakn kemanjuran intervensi. Sampai saat ini, holding therapy belum dilakukan evaluasi secara keilmuan secara sungguh-sungguh.
Kesimpulan
Holding therapy atau holding time merupakan terapi yang didesain untuk mengembangkan keberfungsian individu-individu ASD dan gangguan lain yang berhubungan dengan memulihkan dan menguatkan ikatan antara anak dan ibunya atau pengasuh. Bagaimanapun, hipotesis bahwa autism spectrum disosoders diakibatkan oleh pudarnya tali ikatan ibu dan anak yang belum didukung oleh bukti secara empirik. Mengingat fakta bahwa sedikit studi pengetahuan yang dilakukan untuk mendukung bukti secara empirik bagi keefektifan holding therapy therapy dan secara potensial resiko-resiko secara serius intervensi ini. Holding therapy belum direkomendasikan bagi individu-individu ASD.
Jumat, 06 November 2009
KONSELING ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF
Joko Yuwono, MPd
(Praktisi dan Dosen Anak-Anak Berkebutuhan Khusus (autistik)
Pendahuluan
Pendidikan dalam era globalisasi menjadi wahana yang penting dalam mengembangkan manusia yang cerdas, unggul dan berbudi pekerti luhur. Manusia tidak dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya tanpa pendidikan. Aspek-aspek pada perkembangan manusia seperti akhlaq, budi pekerti, pikiran, perilaku, etika hingga bersosialisasi serta berkomuniasi dengan anggota kelompoknya dikembangkan melalui pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi kawah candradimukanya manusia.
Pendidikan dapat berlangsung dalam setting formal dan nonformal. Penyelenggaraan pendidikan dalam setting formal dapat dilihat dalam system persekolahan, baik managemen maupun system penyelenggaraanya. Artinya pendidikan dalam setting formal diikat oleh system yang sengaja dibuat untuk mengaturnya. Sebaliknya dalam setting pendidikan nonformal tidak diselenggarakan dalam system persekolahan yang mengikat. Artinya dalam penyelenggaran pendidikan dalam setting ini dapat dilakukan di masyarakat seperti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat dimana seseorang tinggal. Setting ini tidak menganut system seperti dalam setting formal misalnya adanya kurikulum, pengajar (guru), berbaju seragam, tempat khusus (gedung sekolah) dan sebagainya. Pengalaman atau kehidupan sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat merupakan kunci pendidikan nonformal. Perbedaan yang lainnya ditunjukkan bahwa pendidikan formal memiliki sistem jenjang pendidikan yang jelas, penyelenggaraan yang terstruktur, kurikulum dan perangkat lainya. Sedang dalam setting pendidikan non formal tidak demikian.
Penyelenggaraan pendidikan dalam setting pendidikan formal memiliki jenjang dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) hingga Perguruan Tinggi (PT). Sekolah formal juga memiliki kurikulum tertentu yang dibuat untuk mengatur penyelenggaraannya. Demikian pula dengan guru-guru yang mengajarnya. Semuanya telah diatur dalam satu system perundang-undangan yang terangkum dalam System Pendidikan Nasional tahun 2003 (Sisdiknas 2003).
Di dalam Sisdiknas 2003 penyelenggaraan pendidikan diberikan pada anak-anak “normal” dan kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Anak-anak normal yang dimaksud adalah anak-anak yang secara umum tidak mengalami hambatan baik fisik maupun mental. Sedang anak-anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki gangguan, penyimpangan atau kecacatan sehingga menghambat perkembangannya dan membutuhkan pelayanan yang berbeda. Manefestasi dari keadaan ini maka dalam pendidikan formal diselenggarakan dalam pendidikan yang berbeda yakni terpisah dengan anak pada umumnya (segregatif) yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) hingga perguruan tinggi. Selain itu juga dapat diselenggarakan dalam bentuk terpadu (mainstreaming) dimana anak kebutuhan khusus dapat bergabung dengan anak normal di sekolah regular.
Penyelenggaraan pendidikan luar biasa tentu membutuhkan guru-guru khusus. Para pengajar ini merupakan lulusan dari pendidikan yang khusus dan tentu bekerjasama dengan para ahli lainya. Salah satu mitra kerjanya adalah Konselor. Tulisan ini sengaja membahas tentang apa yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), bagaimana penyelenggaraan pendidikannya dan bagaimana peran konselor dalam pendidikan ABK.
PENGERTIAN ABK
Sekarang ini definisi ABK memiliki cakupan yang makin luas. Pengertin sederhananya adalah anak yang memiliki gangguan perkembangan atau pertumbuhan dalam aspek fisik, psikis, mental dan emosional serta interakasi social sehingga dengan keadaannya tersebut mereka memiliki hambatan dalam proses pendidikan dan dalam kehidupannya. Definitif ini makin memiliki tafsir yang luas pada konsep ABK saat ini. Konsep ABK tidak lagi pada anak-anak seperti tunanetra, tunarungu atau tunadaksa (cacat fisik). Lebih adari itu konsep layanan khusus menyangkut anak jalanan, anak yang hidup terpencil, korban bencana alam hingga anak suku terasing.
BENTUK PENDIDIKAN BAGI ABK
Secara umum bentuk layanan pendidikan bagi ABK dapat diselenggarakan dalam bentuk pendidikan Segregasi/Terpisah, pendidikan terpadu (integrative) dan pendidikan dalam setting inklusi. Pertama, pendidikan terpisah. Hal yang sederhana untuk memahami bentuk pendidikan ini nampak dalam penyelenggaraannya. Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus ini jelas dilaksanakan secara terpisah dari anak normal baik tempat maupun kurikulumnya. Jadi ada istilah tentang sekolah regular untuk anak-anak “normal” dan sekolah luar biasa untuk anak-anak yang berbeda, Contohnya ada SLB A untuk sekolah anak tunanetra, SLB B untuk Tunarungu, SLB C untuk Tunagrahita dan seterusnya.
Kedua, Pendidikan terpadu (segregatif). Konsep sekolah terpadu diambil dari istilah mainstreaming yang diartikan sebagai integrasi sosial, instruksional dan temporal anak cacat dengan teman-teman normalnya, berdasarkan pada kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual, serta memerlukan klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusunan program oleh tim dari berbagai profesi dan disiplin. (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Kalimat terakhir dari definisi diatas menunjukkan bahwa kerjasama tim sangat diperlukan. Tentu konselor menjadi bagian penting untuk membantu ABK di sekolah. Selain itu, implikasi penyelenggaraannya dapat dilaksanakan dari lingkungan yang sangat terbatas hingga tak terbatas. Artinya ABK dapat diberikan pendidikan secara terpisah dan atau masuk di kelas regular jika secara fisik, perilaku dan akademik memenuhi persyaratan untuk mengikutinya.
Ketiga, PENDIDIKAN INKLUSIFf. Konsep pendidikan ingklusif ini lebih mendorong ABK untuk hidup, bersosialisasi, berteman dan belajar bersama dengan teman-teman sebayanya tanpa membedakan satu sama lainya. Konsep ini didasarkan pada filosofi bahwa setiap anak itu adalah berbeda, maka dengan keberbedaanya, mereka juga memiliki kebutuhan yang berbeda, cara belajar yang berbeda, membutuhkan waktu yang berbeda, bahkan mungkin mengerjakan sesuatu dengan cara berbeda. Anak-anak diharapkan berbagi bukan berkompetisi. Implikasi dalam pendidikan atau sekolah maka setting PENDIDIKAN INKLUSIFf ABK berada dalam kelas yang sama dengan anak pada umumnya tanpa mengisolasikan (menyendirikan) di SLB karena alasan keberbedaan yang dimiliki. Tantangan utamanya adalah bagaimana guru dapat memenuhi kebutuhan anak dalam kelas yang memiliki keberbedaan dan keberagaman kondisi dan karakteristik semua siswa di kelasnya.
PERAN KONSELOR DALAM PENDIDIKAN ABK
Tidak dipungkiri lagi bahwa pendidikan dalam setting inklusi membutuhkan kerja sama antar profesional. Guru yang memiliki peran sentral dalam proses pembelajaran sungguh strategis posisinya. Guru selalu berada di kelas bersama anak-anak, belajar bersama, bermain bersama, berkomunikasi dan berinteraksi. Proses interaksi yang intensif dan kontinyu menjadikan guru sangat memahami karakteristik problematic setiapa anak. Tentu dalam hal ini berkaitan dengan perkembangan pendidikan siswa, kognitif, perilaku dalam proses pembelajarannya. Artinya ada banyak sisi yang mungkin sedikit diketahui dan tidak dapat berbuat banyak karena keterbatasan peran dan fungsi guru itu sendiri. Oleh karenanya dukungan profesional lain seperti dokter, pekerja social, psikolog, guru khusus (PLB) dan konselor.
Guru dalam proses pembelajaran kepada anak-anak akan dibantu oleh guru pembimbing khusus (GPK). Peran GPK adalah bersama-sama dengan guru melakukan kegiatan asesmen, membuat rancangan pembelajaran, membuat program individual bagi ABK hingga melakukan evaluasi bersama-sama tentang perkembangan pendidikan anak. GPK dapat masuk di dalam kelas bersama dengan guru. Kehadiran GPK bukan semata-mata untuk ABK saja, tetapi untuk semua siswa di kelas. Guru tetap menjadi sentral dalam proses pembelajaran.
Kehadira konselor sangat diharapkan ketika problematika hadir dan berwujud pada masalah aspek psikologis misalnya percaya diri, motivasi, perilaku anak, pergaulan, masa depan anak (karier/pekerjaan) problem keluarga hingga masalah yang berkaitan dengan keadaan keluarga. Bisa juga berkaitan dengan orang tua para siswa yang bermasalah, khususnya para orang tua dari ABK.
Pada masa-masa awal ABK bergabung dalam satu komunitas di sekolah regular, keduanya tentu memiliki rasa saling “curiga”, bingung bagaimana cara memulai bergaul, takut untuk menyapa, pemikiran negative, hingga masalah harga diri dan percaya diri anak. Masa transisi ini sangat membutuhkan peran konselor agar anak dapat memahami situasi ini, menyikapi dengan bijaksana dan diharapkan melakukan tindakan yang saling menghargai dan saling mendukung dalam proses interaksi dan belajar sehingga tercapai perkembangan anak yang diharapkan. Fokus dalam masa ini tidak pada ABK saja, tetapi juga anak “regular” lainya. Konselor diharapkan dapat terus mempertahankan situasi yang kondusif diantara siswa-siswa tersebut agar saling membantu dan saling mengahargai serta memperoleh keuntungan yang sama.
Peran konselor lainya adalah membantu guru dan GPK dalama menyelesaikan masalah anak yang berkaitan dengan masalah keluarga. Tidak sedikit ABK khususnya cenderung memiliki masalah kelurga misalnya ABK yang berasal dari keluarga kurang mampu, keluarga yang masih menyakana apa pentingnya pendidikan bagi anaknya, motivasi yang rendah hingga percaya diri yang rendah akibat kondisi anaknya. Konselor diharapkan dapat terus memotivasi para orang tua yang memilki ABK khususnya untuk berperan secara maksimal agar ABK terpenuhi pendidikannya dan tugas perkembanganya secara maskimal.
Isu yang terus bergulir dan tak selesai adalah karier para ABK. Isu klasik ini berkaitan dengan pertanyaan tentang kualitas ABK kaitannya dengan pekerjaan dalam kehidupannya. Hal ini semakin tajam dengan nilai kompetitif di era glabalisasi ini. Memang harus diakui ABK memiliki banyak keterbatasan yang tentu berbeda-beda dan dengan berbagai keterbatasan inilah mereka semakin termajinalkan. Tetapi para guru, GPK dan konselor dapat mengembangkan kelebihan yang dimiliki ABK untuk eksis dalam pekerjaanya, misalnya tidak sedikit anak tunanetra memiliki keahlian dalam berbahasa inggris karena fungsi auditifnya yang dominan atau anak hiperaktif diarahkan untuk kegiatan olahraga seperti basket, lari atau berenang. Artinya potensi apa yang bisa dikembangkan bukan melihat kelemahannya. Hal inilah yang terus dikembangkan oleh guru, GPK dan konselor atau tim lainya untuk mengkompensasi kemampuan yang dimiliki para ABK agar dapat menjawab pekerjaan dimasa depanya.
PENUTUP
Rasanya penulis ingin menegaskan bahwa peran konselor sangat penting untuk menyentuh tiga wilayah dalam pendidikan yang bersetting ingklusif yakni hubungannya anak regular dengan ABK, ABK dan masalah keluarga dan masa depan ABK yang beritan dengan pekerjaan. Konselor diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi ABK yang selama ini kurang diperhatikan. Setidaknya konselor dapat membantu memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi ABK dalam komunitas teman sebayanya dan kelak pekerjaan untuk kemandiriannya.
Daftar Pustaka
Andi Mappiare AT. (2002). Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
McLeod, John. (2003). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Open University Press.
Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta
Dyer, Wayne. W dan Vriend, John (1975). Counseling Techniques that Work. New York : American Personnel and Guidance Association.
(Praktisi dan Dosen Anak-Anak Berkebutuhan Khusus (autistik)
Pendahuluan
Pendidikan dalam era globalisasi menjadi wahana yang penting dalam mengembangkan manusia yang cerdas, unggul dan berbudi pekerti luhur. Manusia tidak dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya tanpa pendidikan. Aspek-aspek pada perkembangan manusia seperti akhlaq, budi pekerti, pikiran, perilaku, etika hingga bersosialisasi serta berkomuniasi dengan anggota kelompoknya dikembangkan melalui pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi kawah candradimukanya manusia.
Pendidikan dapat berlangsung dalam setting formal dan nonformal. Penyelenggaraan pendidikan dalam setting formal dapat dilihat dalam system persekolahan, baik managemen maupun system penyelenggaraanya. Artinya pendidikan dalam setting formal diikat oleh system yang sengaja dibuat untuk mengaturnya. Sebaliknya dalam setting pendidikan nonformal tidak diselenggarakan dalam system persekolahan yang mengikat. Artinya dalam penyelenggaran pendidikan dalam setting ini dapat dilakukan di masyarakat seperti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat dimana seseorang tinggal. Setting ini tidak menganut system seperti dalam setting formal misalnya adanya kurikulum, pengajar (guru), berbaju seragam, tempat khusus (gedung sekolah) dan sebagainya. Pengalaman atau kehidupan sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat merupakan kunci pendidikan nonformal. Perbedaan yang lainnya ditunjukkan bahwa pendidikan formal memiliki sistem jenjang pendidikan yang jelas, penyelenggaraan yang terstruktur, kurikulum dan perangkat lainya. Sedang dalam setting pendidikan non formal tidak demikian.
Penyelenggaraan pendidikan dalam setting pendidikan formal memiliki jenjang dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) hingga Perguruan Tinggi (PT). Sekolah formal juga memiliki kurikulum tertentu yang dibuat untuk mengatur penyelenggaraannya. Demikian pula dengan guru-guru yang mengajarnya. Semuanya telah diatur dalam satu system perundang-undangan yang terangkum dalam System Pendidikan Nasional tahun 2003 (Sisdiknas 2003).
Di dalam Sisdiknas 2003 penyelenggaraan pendidikan diberikan pada anak-anak “normal” dan kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Anak-anak normal yang dimaksud adalah anak-anak yang secara umum tidak mengalami hambatan baik fisik maupun mental. Sedang anak-anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki gangguan, penyimpangan atau kecacatan sehingga menghambat perkembangannya dan membutuhkan pelayanan yang berbeda. Manefestasi dari keadaan ini maka dalam pendidikan formal diselenggarakan dalam pendidikan yang berbeda yakni terpisah dengan anak pada umumnya (segregatif) yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) hingga perguruan tinggi. Selain itu juga dapat diselenggarakan dalam bentuk terpadu (mainstreaming) dimana anak kebutuhan khusus dapat bergabung dengan anak normal di sekolah regular.
Penyelenggaraan pendidikan luar biasa tentu membutuhkan guru-guru khusus. Para pengajar ini merupakan lulusan dari pendidikan yang khusus dan tentu bekerjasama dengan para ahli lainya. Salah satu mitra kerjanya adalah Konselor. Tulisan ini sengaja membahas tentang apa yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), bagaimana penyelenggaraan pendidikannya dan bagaimana peran konselor dalam pendidikan ABK.
PENGERTIAN ABK
Sekarang ini definisi ABK memiliki cakupan yang makin luas. Pengertin sederhananya adalah anak yang memiliki gangguan perkembangan atau pertumbuhan dalam aspek fisik, psikis, mental dan emosional serta interakasi social sehingga dengan keadaannya tersebut mereka memiliki hambatan dalam proses pendidikan dan dalam kehidupannya. Definitif ini makin memiliki tafsir yang luas pada konsep ABK saat ini. Konsep ABK tidak lagi pada anak-anak seperti tunanetra, tunarungu atau tunadaksa (cacat fisik). Lebih adari itu konsep layanan khusus menyangkut anak jalanan, anak yang hidup terpencil, korban bencana alam hingga anak suku terasing.
BENTUK PENDIDIKAN BAGI ABK
Secara umum bentuk layanan pendidikan bagi ABK dapat diselenggarakan dalam bentuk pendidikan Segregasi/Terpisah, pendidikan terpadu (integrative) dan pendidikan dalam setting inklusi. Pertama, pendidikan terpisah. Hal yang sederhana untuk memahami bentuk pendidikan ini nampak dalam penyelenggaraannya. Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus ini jelas dilaksanakan secara terpisah dari anak normal baik tempat maupun kurikulumnya. Jadi ada istilah tentang sekolah regular untuk anak-anak “normal” dan sekolah luar biasa untuk anak-anak yang berbeda, Contohnya ada SLB A untuk sekolah anak tunanetra, SLB B untuk Tunarungu, SLB C untuk Tunagrahita dan seterusnya.
Kedua, Pendidikan terpadu (segregatif). Konsep sekolah terpadu diambil dari istilah mainstreaming yang diartikan sebagai integrasi sosial, instruksional dan temporal anak cacat dengan teman-teman normalnya, berdasarkan pada kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual, serta memerlukan klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusunan program oleh tim dari berbagai profesi dan disiplin. (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Kalimat terakhir dari definisi diatas menunjukkan bahwa kerjasama tim sangat diperlukan. Tentu konselor menjadi bagian penting untuk membantu ABK di sekolah. Selain itu, implikasi penyelenggaraannya dapat dilaksanakan dari lingkungan yang sangat terbatas hingga tak terbatas. Artinya ABK dapat diberikan pendidikan secara terpisah dan atau masuk di kelas regular jika secara fisik, perilaku dan akademik memenuhi persyaratan untuk mengikutinya.
Ketiga, PENDIDIKAN INKLUSIFf. Konsep pendidikan ingklusif ini lebih mendorong ABK untuk hidup, bersosialisasi, berteman dan belajar bersama dengan teman-teman sebayanya tanpa membedakan satu sama lainya. Konsep ini didasarkan pada filosofi bahwa setiap anak itu adalah berbeda, maka dengan keberbedaanya, mereka juga memiliki kebutuhan yang berbeda, cara belajar yang berbeda, membutuhkan waktu yang berbeda, bahkan mungkin mengerjakan sesuatu dengan cara berbeda. Anak-anak diharapkan berbagi bukan berkompetisi. Implikasi dalam pendidikan atau sekolah maka setting PENDIDIKAN INKLUSIFf ABK berada dalam kelas yang sama dengan anak pada umumnya tanpa mengisolasikan (menyendirikan) di SLB karena alasan keberbedaan yang dimiliki. Tantangan utamanya adalah bagaimana guru dapat memenuhi kebutuhan anak dalam kelas yang memiliki keberbedaan dan keberagaman kondisi dan karakteristik semua siswa di kelasnya.
PERAN KONSELOR DALAM PENDIDIKAN ABK
Tidak dipungkiri lagi bahwa pendidikan dalam setting inklusi membutuhkan kerja sama antar profesional. Guru yang memiliki peran sentral dalam proses pembelajaran sungguh strategis posisinya. Guru selalu berada di kelas bersama anak-anak, belajar bersama, bermain bersama, berkomunikasi dan berinteraksi. Proses interaksi yang intensif dan kontinyu menjadikan guru sangat memahami karakteristik problematic setiapa anak. Tentu dalam hal ini berkaitan dengan perkembangan pendidikan siswa, kognitif, perilaku dalam proses pembelajarannya. Artinya ada banyak sisi yang mungkin sedikit diketahui dan tidak dapat berbuat banyak karena keterbatasan peran dan fungsi guru itu sendiri. Oleh karenanya dukungan profesional lain seperti dokter, pekerja social, psikolog, guru khusus (PLB) dan konselor.
Guru dalam proses pembelajaran kepada anak-anak akan dibantu oleh guru pembimbing khusus (GPK). Peran GPK adalah bersama-sama dengan guru melakukan kegiatan asesmen, membuat rancangan pembelajaran, membuat program individual bagi ABK hingga melakukan evaluasi bersama-sama tentang perkembangan pendidikan anak. GPK dapat masuk di dalam kelas bersama dengan guru. Kehadiran GPK bukan semata-mata untuk ABK saja, tetapi untuk semua siswa di kelas. Guru tetap menjadi sentral dalam proses pembelajaran.
Kehadira konselor sangat diharapkan ketika problematika hadir dan berwujud pada masalah aspek psikologis misalnya percaya diri, motivasi, perilaku anak, pergaulan, masa depan anak (karier/pekerjaan) problem keluarga hingga masalah yang berkaitan dengan keadaan keluarga. Bisa juga berkaitan dengan orang tua para siswa yang bermasalah, khususnya para orang tua dari ABK.
Pada masa-masa awal ABK bergabung dalam satu komunitas di sekolah regular, keduanya tentu memiliki rasa saling “curiga”, bingung bagaimana cara memulai bergaul, takut untuk menyapa, pemikiran negative, hingga masalah harga diri dan percaya diri anak. Masa transisi ini sangat membutuhkan peran konselor agar anak dapat memahami situasi ini, menyikapi dengan bijaksana dan diharapkan melakukan tindakan yang saling menghargai dan saling mendukung dalam proses interaksi dan belajar sehingga tercapai perkembangan anak yang diharapkan. Fokus dalam masa ini tidak pada ABK saja, tetapi juga anak “regular” lainya. Konselor diharapkan dapat terus mempertahankan situasi yang kondusif diantara siswa-siswa tersebut agar saling membantu dan saling mengahargai serta memperoleh keuntungan yang sama.
Peran konselor lainya adalah membantu guru dan GPK dalama menyelesaikan masalah anak yang berkaitan dengan masalah keluarga. Tidak sedikit ABK khususnya cenderung memiliki masalah kelurga misalnya ABK yang berasal dari keluarga kurang mampu, keluarga yang masih menyakana apa pentingnya pendidikan bagi anaknya, motivasi yang rendah hingga percaya diri yang rendah akibat kondisi anaknya. Konselor diharapkan dapat terus memotivasi para orang tua yang memilki ABK khususnya untuk berperan secara maksimal agar ABK terpenuhi pendidikannya dan tugas perkembanganya secara maskimal.
Isu yang terus bergulir dan tak selesai adalah karier para ABK. Isu klasik ini berkaitan dengan pertanyaan tentang kualitas ABK kaitannya dengan pekerjaan dalam kehidupannya. Hal ini semakin tajam dengan nilai kompetitif di era glabalisasi ini. Memang harus diakui ABK memiliki banyak keterbatasan yang tentu berbeda-beda dan dengan berbagai keterbatasan inilah mereka semakin termajinalkan. Tetapi para guru, GPK dan konselor dapat mengembangkan kelebihan yang dimiliki ABK untuk eksis dalam pekerjaanya, misalnya tidak sedikit anak tunanetra memiliki keahlian dalam berbahasa inggris karena fungsi auditifnya yang dominan atau anak hiperaktif diarahkan untuk kegiatan olahraga seperti basket, lari atau berenang. Artinya potensi apa yang bisa dikembangkan bukan melihat kelemahannya. Hal inilah yang terus dikembangkan oleh guru, GPK dan konselor atau tim lainya untuk mengkompensasi kemampuan yang dimiliki para ABK agar dapat menjawab pekerjaan dimasa depanya.
PENUTUP
Rasanya penulis ingin menegaskan bahwa peran konselor sangat penting untuk menyentuh tiga wilayah dalam pendidikan yang bersetting ingklusif yakni hubungannya anak regular dengan ABK, ABK dan masalah keluarga dan masa depan ABK yang beritan dengan pekerjaan. Konselor diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi ABK yang selama ini kurang diperhatikan. Setidaknya konselor dapat membantu memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi ABK dalam komunitas teman sebayanya dan kelak pekerjaan untuk kemandiriannya.
Daftar Pustaka
Andi Mappiare AT. (2002). Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
McLeod, John. (2003). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Open University Press.
Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta
Dyer, Wayne. W dan Vriend, John (1975). Counseling Techniques that Work. New York : American Personnel and Guidance Association.
IQ Anak Autistik
Diambil dari Buku berjudul : Memahami Anak Autistik, Tinjauan Teoritik dan Empirik, (2009). Karya : Joko Yuwono, MPd. Penerbit : Alfabeta Bandung.Pertanyaan orang tua yang sering diajukan kepada penulis adalah berapa ya IQ anak saya kalau dites ?. Pada bagian ini penulis mencoba memaparkan hasil-hasil riset yang dilaporkan oleh beberapa ahli yang ditulis oleh Lewis (2003) dalam bukunya yang berjudul Development and Disability berkaitan dengan IQ anak autistik. .Lewis (2003) menulis berba$gai laporan hasil studi tentang IQ anak autistik yang cukup menarik untuk disimak. Kebanyakan laporan studi menyatakan bahwa IQ anak autistik berada di bawah 70. Laporan tentang hal ini rata-rata ditulis pada tahun 1999. Beberapa laporan yang dikutip oleh Lewis seperti Fombonne (1999) telah mereview 12 epidemilogi dengan menstudi level IQ yang dilapublikasikan antara tahun 1966 hingga 1999. Sekitar dua juta anak yang berusia dari sejak lahir hingga 27 tahun dipelajari. Hanya 4% ditemukan sebagai autistik yakni 80.000. Ia melaporkan bahwa seperempat anak memiliki IQ : 70, seperempatnya lagi memiliki IQ antara 50-69 dan setengahnya memiliki IQ dibawah 50.Lewis juga melaporkan tentang IQ anak autistik yang ditulis oleh Folsten, dkk (1999). Ia melaporkan hasil studi dari 90 anak autistik berusia 3-32 tahun. Ia mencatat bahwa 21% anak autistik memiliki IQ di bawah 30, 24% memiliki IQ 30 hingga 49, 17% memiliki IQ 50-69 dan 38% yang memiliki IQ di atas 70. Volkmar, Szanmari dan Sparrow (1993) melaporkan bahwa 199 anak-anak dan remaja anak autistik, 48% memiliki IQ di bawah 35, 38% ber-IQ 35-69 dan hanya 14% memiliki IQ 70. Dalam laporannya tidak disebutkan berapa jumlah laki-laki dan perempuan, tetapi ia menyatakan bahwa hanya 17% anak laki-laki yang memiliki IQ 70 dan perempuan hanya 2%-nya saja. Berkaitan dengan IQ yang ditinjau dari jenis kelamin antara laki-laki dan permepuan belum ditemukan perbandingan bahwa IQ anak autistik laki-laki lebih tinggi disbanding IQ anak autistik berjenis kelamin perempuan. Hal ini masih membutuhkan studi ilmiah yang akurat.Selanjutnya, Sigman dan Ruskin’s (1999) melakukan studi longitudinal sejumlah anak-anak autistik yang memiliki IQ 70 mungkin akan menurun. Mereka melaporkan bahwa rata-rata IQ dari 43 anak autistik diukur dari usia 3 hingga 5 tahun memiliki IQ 51 dan lebih dari 90% anak-anak autistik ini memiliki IQ di bawah 70. Selanjutnya, sekitar 8-9 tahun kemudian rata-rata IQ mereka cenderung menurun hingga 49, tetapi sekarang hanya di bawah 70% yang memiliki IQ di bawah 70.Kemampuan visual spatial merupakan kemampuan yang menoncol pada anak autistik. Kemampuan ini diasosiasikan antara IQ non verbal lebih tinggi dibanding daripada IQ verbalnya, meskipun sebagian pola-polanya ditandai dengan IQ yang rendah. (e.g. Siegel, Miushew dan Goldstein, 1996). Yang menarik adalah laporan Mawhood, Howlin dan Rutter (2000) yang menyatakan bahwa 19 anak autistik yang berusia 4-9 tahun memiliki IQ nonverbal di atas 70. Pada usia 21-27 tahun anak-anak autistik rata-rata memiliki IQ 83, dibandingkan rata-rata 94 ketika mereka masih anak-anak. Sedang IQ verbalnya rata-rata 82 dibanding pada masa awal/anak-anak yakni rata-rata 67. Siegel (1996) menuliskan bahwa 2-3% anak autistik memiliki level intelegensi nonverbal yang normal, tetapi memiliki signifikansi yang sangat kuat terhadap “kerusakan” dalam IQ verbal (bahasa). Namun demikian bersamaan dengan perkembangan anak, 10% anak autistik memiliki fungsi intelektual dalam kedua kemampuan verbal dan non verbal. Paparan tersebut menegaskan bahwa meskipun rata-rata IQ non verbal ini relative pada individu anak autistik adalah luar biasa daripada IQ verbal mereka pada masa kanak-kanak, perbedaan ini hilang pada masa remaja.Berbagai laporan ilmiah tentang IQ anak autistik di atas menunjukkan bahwa level IQ anak autistik berkecenderungan di bawah rata-rata anak-anak pada umumnya yakni di bawah 90. Tidak banyak ditemukan laporan IQ anak autistik yang melebihi batas rata-rata anak-anak pada mumnya. Namun demikian, ada indikasi IQ non verbal lebih baik dibanding IQ verbal serta tes-tes yang menggunakan visual spatial lebih baik bagi IQ anak autistik. Ditinjau dari pengelompokannya, IQ anak autistik ini memiliki kesamaan pada tinjauan IQ pada anak MR. Ditinjau dari IQ, anak MR terbagi menjadi 3 kategori yakni Debil dengan IQ 51-80, Embisil ber-IQ 26-50 dan Idiot ber-IQ di bawah 25.Berbagai laporan ilmiah di atas disikapi secara beragam oleh para ahli, praktisi, terapis, guru ataupun orang tua dari anak autistik sendiri. Pro dan kontra tentang pengukuran/tes IQ ini masih terus berlangsung. Hal-hal yang terus diperdebatkan adalah alat tes yang digunakan untuk mengukur IQ anak autistik, dimana pertanyaannya adalah bagaimana validitas dan reliabilitas alat tersebut ?. Bagaimana dengan bias budaya ? Apakah mungkin bahwa manusia yang unik dan komplek hanya dapat direpresentasikan dengan angka IQ 60 atau 70 yang bermakna anak bodoh, tunagrahita ataupun boderline dan sebagainya. Beberapa praktisi menanggapi hal ini sebagai suatu permasalahan yang tidak subtantif. Mereka cenderung lebih mengutamakan pada ”apa yang bisa kita lakukan terhadap keadaan anak autistik daripada sibuk mencari label apa yang pas bagi anak. Namun demikian, harus diakui bahwa label ini dibutuhkan dalam perspektif metode penanganan yang pas, kepentingan administratif atau kepentingan-kepentingan dalam studi ilmiah.Bagaimana dengan pendapat anda ........???
Rabu, 05 Agustus 2009
Foto Aktifitas Anak Autistik
Langganan:
Komentar
(Atom)