Artikel

Berikut adalah artikel saya

Mengenai Saya

Foto saya
Saya suka berbagi pengalaman.

Pengikut

Jumat, 06 November 2009

KONSELING ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF

Joko Yuwono, MPd
(Praktisi dan Dosen Anak-Anak Berkebutuhan Khusus (autistik)

Pendahuluan
Pendidikan dalam era globalisasi menjadi wahana yang penting dalam mengembangkan manusia yang cerdas, unggul dan berbudi pekerti luhur. Manusia tidak dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya tanpa pendidikan. Aspek-aspek pada perkembangan manusia seperti akhlaq, budi pekerti, pikiran, perilaku, etika hingga bersosialisasi serta berkomuniasi dengan anggota kelompoknya dikembangkan melalui pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi kawah candradimukanya manusia.
Pendidikan dapat berlangsung dalam setting formal dan nonformal. Penyelenggaraan pendidikan dalam setting formal dapat dilihat dalam system persekolahan, baik managemen maupun system penyelenggaraanya. Artinya pendidikan dalam setting formal diikat oleh system yang sengaja dibuat untuk mengaturnya. Sebaliknya dalam setting pendidikan nonformal tidak diselenggarakan dalam system persekolahan yang mengikat. Artinya dalam penyelenggaran pendidikan dalam setting ini dapat dilakukan di masyarakat seperti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat dimana seseorang tinggal. Setting ini tidak menganut system seperti dalam setting formal misalnya adanya kurikulum, pengajar (guru), berbaju seragam, tempat khusus (gedung sekolah) dan sebagainya. Pengalaman atau kehidupan sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat merupakan kunci pendidikan nonformal. Perbedaan yang lainnya ditunjukkan bahwa pendidikan formal memiliki sistem jenjang pendidikan yang jelas, penyelenggaraan yang terstruktur, kurikulum dan perangkat lainya. Sedang dalam setting pendidikan non formal tidak demikian.
Penyelenggaraan pendidikan dalam setting pendidikan formal memiliki jenjang dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) hingga Perguruan Tinggi (PT). Sekolah formal juga memiliki kurikulum tertentu yang dibuat untuk mengatur penyelenggaraannya. Demikian pula dengan guru-guru yang mengajarnya. Semuanya telah diatur dalam satu system perundang-undangan yang terangkum dalam System Pendidikan Nasional tahun 2003 (Sisdiknas 2003).
Di dalam Sisdiknas 2003 penyelenggaraan pendidikan diberikan pada anak-anak “normal” dan kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Anak-anak normal yang dimaksud adalah anak-anak yang secara umum tidak mengalami hambatan baik fisik maupun mental. Sedang anak-anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki gangguan, penyimpangan atau kecacatan sehingga menghambat perkembangannya dan membutuhkan pelayanan yang berbeda. Manefestasi dari keadaan ini maka dalam pendidikan formal diselenggarakan dalam pendidikan yang berbeda yakni terpisah dengan anak pada umumnya (segregatif) yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) dari jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) hingga perguruan tinggi. Selain itu juga dapat diselenggarakan dalam bentuk terpadu (mainstreaming) dimana anak kebutuhan khusus dapat bergabung dengan anak normal di sekolah regular.
Penyelenggaraan pendidikan luar biasa tentu membutuhkan guru-guru khusus. Para pengajar ini merupakan lulusan dari pendidikan yang khusus dan tentu bekerjasama dengan para ahli lainya. Salah satu mitra kerjanya adalah Konselor. Tulisan ini sengaja membahas tentang apa yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), bagaimana penyelenggaraan pendidikannya dan bagaimana peran konselor dalam pendidikan ABK.

PENGERTIAN ABK
Sekarang ini definisi ABK memiliki cakupan yang makin luas. Pengertin sederhananya adalah anak yang memiliki gangguan perkembangan atau pertumbuhan dalam aspek fisik, psikis, mental dan emosional serta interakasi social sehingga dengan keadaannya tersebut mereka memiliki hambatan dalam proses pendidikan dan dalam kehidupannya. Definitif ini makin memiliki tafsir yang luas pada konsep ABK saat ini. Konsep ABK tidak lagi pada anak-anak seperti tunanetra, tunarungu atau tunadaksa (cacat fisik). Lebih adari itu konsep layanan khusus menyangkut anak jalanan, anak yang hidup terpencil, korban bencana alam hingga anak suku terasing.


BENTUK PENDIDIKAN BAGI ABK
Secara umum bentuk layanan pendidikan bagi ABK dapat diselenggarakan dalam bentuk pendidikan Segregasi/Terpisah, pendidikan terpadu (integrative) dan pendidikan dalam setting inklusi. Pertama, pendidikan terpisah. Hal yang sederhana untuk memahami bentuk pendidikan ini nampak dalam penyelenggaraannya. Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus ini jelas dilaksanakan secara terpisah dari anak normal baik tempat maupun kurikulumnya. Jadi ada istilah tentang sekolah regular untuk anak-anak “normal” dan sekolah luar biasa untuk anak-anak yang berbeda, Contohnya ada SLB A untuk sekolah anak tunanetra, SLB B untuk Tunarungu, SLB C untuk Tunagrahita dan seterusnya.
Kedua, Pendidikan terpadu (segregatif). Konsep sekolah terpadu diambil dari istilah mainstreaming yang diartikan sebagai integrasi sosial, instruksional dan temporal anak cacat dengan teman-teman normalnya, berdasarkan pada kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual, serta memerlukan klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusunan program oleh tim dari berbagai profesi dan disiplin. (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Kalimat terakhir dari definisi diatas menunjukkan bahwa kerjasama tim sangat diperlukan. Tentu konselor menjadi bagian penting untuk membantu ABK di sekolah. Selain itu, implikasi penyelenggaraannya dapat dilaksanakan dari lingkungan yang sangat terbatas hingga tak terbatas. Artinya ABK dapat diberikan pendidikan secara terpisah dan atau masuk di kelas regular jika secara fisik, perilaku dan akademik memenuhi persyaratan untuk mengikutinya.
Ketiga, PENDIDIKAN INKLUSIFf. Konsep pendidikan ingklusif ini lebih mendorong ABK untuk hidup, bersosialisasi, berteman dan belajar bersama dengan teman-teman sebayanya tanpa membedakan satu sama lainya. Konsep ini didasarkan pada filosofi bahwa setiap anak itu adalah berbeda, maka dengan keberbedaanya, mereka juga memiliki kebutuhan yang berbeda, cara belajar yang berbeda, membutuhkan waktu yang berbeda, bahkan mungkin mengerjakan sesuatu dengan cara berbeda. Anak-anak diharapkan berbagi bukan berkompetisi. Implikasi dalam pendidikan atau sekolah maka setting PENDIDIKAN INKLUSIFf ABK berada dalam kelas yang sama dengan anak pada umumnya tanpa mengisolasikan (menyendirikan) di SLB karena alasan keberbedaan yang dimiliki. Tantangan utamanya adalah bagaimana guru dapat memenuhi kebutuhan anak dalam kelas yang memiliki keberbedaan dan keberagaman kondisi dan karakteristik semua siswa di kelasnya.

PERAN KONSELOR DALAM PENDIDIKAN ABK
Tidak dipungkiri lagi bahwa pendidikan dalam setting inklusi membutuhkan kerja sama antar profesional. Guru yang memiliki peran sentral dalam proses pembelajaran sungguh strategis posisinya. Guru selalu berada di kelas bersama anak-anak, belajar bersama, bermain bersama, berkomunikasi dan berinteraksi. Proses interaksi yang intensif dan kontinyu menjadikan guru sangat memahami karakteristik problematic setiapa anak. Tentu dalam hal ini berkaitan dengan perkembangan pendidikan siswa, kognitif, perilaku dalam proses pembelajarannya. Artinya ada banyak sisi yang mungkin sedikit diketahui dan tidak dapat berbuat banyak karena keterbatasan peran dan fungsi guru itu sendiri. Oleh karenanya dukungan profesional lain seperti dokter, pekerja social, psikolog, guru khusus (PLB) dan konselor.
Guru dalam proses pembelajaran kepada anak-anak akan dibantu oleh guru pembimbing khusus (GPK). Peran GPK adalah bersama-sama dengan guru melakukan kegiatan asesmen, membuat rancangan pembelajaran, membuat program individual bagi ABK hingga melakukan evaluasi bersama-sama tentang perkembangan pendidikan anak. GPK dapat masuk di dalam kelas bersama dengan guru. Kehadiran GPK bukan semata-mata untuk ABK saja, tetapi untuk semua siswa di kelas. Guru tetap menjadi sentral dalam proses pembelajaran.
Kehadira konselor sangat diharapkan ketika problematika hadir dan berwujud pada masalah aspek psikologis misalnya percaya diri, motivasi, perilaku anak, pergaulan, masa depan anak (karier/pekerjaan) problem keluarga hingga masalah yang berkaitan dengan keadaan keluarga. Bisa juga berkaitan dengan orang tua para siswa yang bermasalah, khususnya para orang tua dari ABK.
Pada masa-masa awal ABK bergabung dalam satu komunitas di sekolah regular, keduanya tentu memiliki rasa saling “curiga”, bingung bagaimana cara memulai bergaul, takut untuk menyapa, pemikiran negative, hingga masalah harga diri dan percaya diri anak. Masa transisi ini sangat membutuhkan peran konselor agar anak dapat memahami situasi ini, menyikapi dengan bijaksana dan diharapkan melakukan tindakan yang saling menghargai dan saling mendukung dalam proses interaksi dan belajar sehingga tercapai perkembangan anak yang diharapkan. Fokus dalam masa ini tidak pada ABK saja, tetapi juga anak “regular” lainya. Konselor diharapkan dapat terus mempertahankan situasi yang kondusif diantara siswa-siswa tersebut agar saling membantu dan saling mengahargai serta memperoleh keuntungan yang sama.
Peran konselor lainya adalah membantu guru dan GPK dalama menyelesaikan masalah anak yang berkaitan dengan masalah keluarga. Tidak sedikit ABK khususnya cenderung memiliki masalah kelurga misalnya ABK yang berasal dari keluarga kurang mampu, keluarga yang masih menyakana apa pentingnya pendidikan bagi anaknya, motivasi yang rendah hingga percaya diri yang rendah akibat kondisi anaknya. Konselor diharapkan dapat terus memotivasi para orang tua yang memilki ABK khususnya untuk berperan secara maksimal agar ABK terpenuhi pendidikannya dan tugas perkembanganya secara maskimal.
Isu yang terus bergulir dan tak selesai adalah karier para ABK. Isu klasik ini berkaitan dengan pertanyaan tentang kualitas ABK kaitannya dengan pekerjaan dalam kehidupannya. Hal ini semakin tajam dengan nilai kompetitif di era glabalisasi ini. Memang harus diakui ABK memiliki banyak keterbatasan yang tentu berbeda-beda dan dengan berbagai keterbatasan inilah mereka semakin termajinalkan. Tetapi para guru, GPK dan konselor dapat mengembangkan kelebihan yang dimiliki ABK untuk eksis dalam pekerjaanya, misalnya tidak sedikit anak tunanetra memiliki keahlian dalam berbahasa inggris karena fungsi auditifnya yang dominan atau anak hiperaktif diarahkan untuk kegiatan olahraga seperti basket, lari atau berenang. Artinya potensi apa yang bisa dikembangkan bukan melihat kelemahannya. Hal inilah yang terus dikembangkan oleh guru, GPK dan konselor atau tim lainya untuk mengkompensasi kemampuan yang dimiliki para ABK agar dapat menjawab pekerjaan dimasa depanya.

PENUTUP
Rasanya penulis ingin menegaskan bahwa peran konselor sangat penting untuk menyentuh tiga wilayah dalam pendidikan yang bersetting ingklusif yakni hubungannya anak regular dengan ABK, ABK dan masalah keluarga dan masa depan ABK yang beritan dengan pekerjaan. Konselor diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi ABK yang selama ini kurang diperhatikan. Setidaknya konselor dapat membantu memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi ABK dalam komunitas teman sebayanya dan kelak pekerjaan untuk kemandiriannya.



Daftar Pustaka


Andi Mappiare AT. (2002). Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

McLeod, John. (2003). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Open University Press.

Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta

Dyer, Wayne. W dan Vriend, John (1975). Counseling Techniques that Work. New York : American Personnel and Guidance Association.

IQ Anak Autistik

Diambil dari Buku berjudul : Memahami Anak Autistik, Tinjauan Teoritik dan Empirik, (2009). Karya : Joko Yuwono, MPd. Penerbit : Alfabeta Bandung.Pertanyaan orang tua yang sering diajukan kepada penulis adalah berapa ya IQ anak saya kalau dites ?. Pada bagian ini penulis mencoba memaparkan hasil-hasil riset yang dilaporkan oleh beberapa ahli yang ditulis oleh Lewis (2003) dalam bukunya yang berjudul Development and Disability berkaitan dengan IQ anak autistik. .Lewis (2003) menulis berba$gai laporan hasil studi tentang IQ anak autistik yang cukup menarik untuk disimak. Kebanyakan laporan studi menyatakan bahwa IQ anak autistik berada di bawah 70. Laporan tentang hal ini rata-rata ditulis pada tahun 1999. Beberapa laporan yang dikutip oleh Lewis seperti Fombonne (1999) telah mereview 12 epidemilogi dengan menstudi level IQ yang dilapublikasikan antara tahun 1966 hingga 1999. Sekitar dua juta anak yang berusia dari sejak lahir hingga 27 tahun dipelajari. Hanya 4% ditemukan sebagai autistik yakni 80.000. Ia melaporkan bahwa seperempat anak memiliki IQ : 70, seperempatnya lagi memiliki IQ antara 50-69 dan setengahnya memiliki IQ dibawah 50.Lewis juga melaporkan tentang IQ anak autistik yang ditulis oleh Folsten, dkk (1999). Ia melaporkan hasil studi dari 90 anak autistik berusia 3-32 tahun. Ia mencatat bahwa 21% anak autistik memiliki IQ di bawah 30, 24% memiliki IQ 30 hingga 49, 17% memiliki IQ 50-69 dan 38% yang memiliki IQ di atas 70. Volkmar, Szanmari dan Sparrow (1993) melaporkan bahwa 199 anak-anak dan remaja anak autistik, 48% memiliki IQ di bawah 35, 38% ber-IQ 35-69 dan hanya 14% memiliki IQ 70. Dalam laporannya tidak disebutkan berapa jumlah laki-laki dan perempuan, tetapi ia menyatakan bahwa hanya 17% anak laki-laki yang memiliki IQ 70 dan perempuan hanya 2%-nya saja. Berkaitan dengan IQ yang ditinjau dari jenis kelamin antara laki-laki dan permepuan belum ditemukan perbandingan bahwa IQ anak autistik laki-laki lebih tinggi disbanding IQ anak autistik berjenis kelamin perempuan. Hal ini masih membutuhkan studi ilmiah yang akurat.Selanjutnya, Sigman dan Ruskin’s (1999) melakukan studi longitudinal sejumlah anak-anak autistik yang memiliki IQ 70 mungkin akan menurun. Mereka melaporkan bahwa rata-rata IQ dari 43 anak autistik diukur dari usia 3 hingga 5 tahun memiliki IQ 51 dan lebih dari 90% anak-anak autistik ini memiliki IQ di bawah 70. Selanjutnya, sekitar 8-9 tahun kemudian rata-rata IQ mereka cenderung menurun hingga 49, tetapi sekarang hanya di bawah 70% yang memiliki IQ di bawah 70.Kemampuan visual spatial merupakan kemampuan yang menoncol pada anak autistik. Kemampuan ini diasosiasikan antara IQ non verbal lebih tinggi dibanding daripada IQ verbalnya, meskipun sebagian pola-polanya ditandai dengan IQ yang rendah. (e.g. Siegel, Miushew dan Goldstein, 1996). Yang menarik adalah laporan Mawhood, Howlin dan Rutter (2000) yang menyatakan bahwa 19 anak autistik yang berusia 4-9 tahun memiliki IQ nonverbal di atas 70. Pada usia 21-27 tahun anak-anak autistik rata-rata memiliki IQ 83, dibandingkan rata-rata 94 ketika mereka masih anak-anak. Sedang IQ verbalnya rata-rata 82 dibanding pada masa awal/anak-anak yakni rata-rata 67. Siegel (1996) menuliskan bahwa 2-3% anak autistik memiliki level intelegensi nonverbal yang normal, tetapi memiliki signifikansi yang sangat kuat terhadap “kerusakan” dalam IQ verbal (bahasa). Namun demikian bersamaan dengan perkembangan anak, 10% anak autistik memiliki fungsi intelektual dalam kedua kemampuan verbal dan non verbal. Paparan tersebut menegaskan bahwa meskipun rata-rata IQ non verbal ini relative pada individu anak autistik adalah luar biasa daripada IQ verbal mereka pada masa kanak-kanak, perbedaan ini hilang pada masa remaja.Berbagai laporan ilmiah tentang IQ anak autistik di atas menunjukkan bahwa level IQ anak autistik berkecenderungan di bawah rata-rata anak-anak pada umumnya yakni di bawah 90. Tidak banyak ditemukan laporan IQ anak autistik yang melebihi batas rata-rata anak-anak pada mumnya. Namun demikian, ada indikasi IQ non verbal lebih baik dibanding IQ verbal serta tes-tes yang menggunakan visual spatial lebih baik bagi IQ anak autistik. Ditinjau dari pengelompokannya, IQ anak autistik ini memiliki kesamaan pada tinjauan IQ pada anak MR. Ditinjau dari IQ, anak MR terbagi menjadi 3 kategori yakni Debil dengan IQ 51-80, Embisil ber-IQ 26-50 dan Idiot ber-IQ di bawah 25.Berbagai laporan ilmiah di atas disikapi secara beragam oleh para ahli, praktisi, terapis, guru ataupun orang tua dari anak autistik sendiri. Pro dan kontra tentang pengukuran/tes IQ ini masih terus berlangsung. Hal-hal yang terus diperdebatkan adalah alat tes yang digunakan untuk mengukur IQ anak autistik, dimana pertanyaannya adalah bagaimana validitas dan reliabilitas alat tersebut ?. Bagaimana dengan bias budaya ? Apakah mungkin bahwa manusia yang unik dan komplek hanya dapat direpresentasikan dengan angka IQ 60 atau 70 yang bermakna anak bodoh, tunagrahita ataupun boderline dan sebagainya. Beberapa praktisi menanggapi hal ini sebagai suatu permasalahan yang tidak subtantif. Mereka cenderung lebih mengutamakan pada ”apa yang bisa kita lakukan terhadap keadaan anak autistik daripada sibuk mencari label apa yang pas bagi anak. Namun demikian, harus diakui bahwa label ini dibutuhkan dalam perspektif metode penanganan yang pas, kepentingan administratif atau kepentingan-kepentingan dalam studi ilmiah.Bagaimana dengan pendapat anda ........???
Rabu, 24 Juni 2009

SEJARAH ANAK AUTISTIK DI INDONESIA

Sejarah Autistik di Indonesia dimulai sejak tahun 90-an. Namun demikian, istilah ini masih tertulis dalam buku-buku lama dan hanya di ulas dalam satu lembar buku saja. Bahkan ketika saya kuliah S1 pada tahun 92 hampir tidak satupun dosen yang menyebut kata autistik.

Ketika saya selesai kuliah pada tahun 1997, saya langsung bekerja di sebuah pusat terapi di Jakarta Barat. Pada waktu itu tidak banyak didengar tentang pusat terapi seperti ini. Kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas. Tetapi, dimana tempat saya bekerja sudah menangani anak-anak autistik. Seminar belum ada. Dokter yang tahu tentang autistik, jarang.

Selanjutnya, dari para orang tua yang anaknya belajar di pusat terapi saya bekerja, berinisiatif memanggil ahli dari Australia, Jura Tender. Kalau tidak salah pada tahun 1997, bulan september diadakan seminar pertama kalinya tentang anak autistik dengan pembicara Jura Tender. Nah, dari seminar inilah, lalu bebrapa orang tua berinisiatif berkonsultasi tentang ananknya secara pribadi dengan Jura. Dari sinilah Metode Lovas mulai dikenal, ada beberapa orang tua yang anaknya autistik lalu membuat pusat terapi, terapis yang sudah "merasa bisa" berinisiatif mandiri membuat pusat terapi dan hingga sekarang jumlahnya sudah ratusan. Bahkan, para dokter yang biasa memeriksa di Rumah Sakit, sekonyong-konyong punya pusat terapi. Dan lagi, orang yang baru saja jadi terapis dan tidak punya latar belakang pendidikan yang pas, langsung ikut meramaikan perterapian di Indonesia. Tahun 98 - 2000 merupakan waktu yang paling ramai dalam dunia autistik.

Sejak tahun 2000, berdasarkan pengalaman penulis, di sebagian besar kota-kota besar telah ada pusat terapi. Beberapa kota yang penulis kunjungi seperti Surabaya, Jombang, Malang, Solo, Jogya, Purwokerta, Bekasi, Bandung, Banten, Jambi hingga Medan, semua sudah ada pusat-pusat terapi dengan berbagai "gaya"nya masing-masing.


Kita bersyukur, Bahwa tumbuhnya pusat terapi di berbagai kota tentu menunjukkan adanya kesadaran dan kepedulian masyarakat atas pendidikan anak autistik. Juga memberikan kemudahan bagi mereka yang tinggal di daerah, tidak perlu ke Jakarta.

Namun demikian, sejarah tersebut hingga kini masih membawa persoalan yang begitu banyak. Pembayaran yang mahal, SDM atau terapi yang kurang, ahli yang terbatas, buku dan laporan penelitian yang minim, dan sebagainya.

Selamat berjuang !

Catatan : Tulisan ini hanya berdasarkan pengalaman penulis. Bila ada informasi tolong kirim ke jkyuwono@gmail.com. Penulis sengaja tidak menyebutkan pelaku sejarah, karena belum valid.
Nama saya Joko Yuwono. Lahir di Solo, 19 Juni 1973. Saya sedang menempuh pendidikan S3/Doktor bidang konseling. Pekerjaan saya adalah membantu keluarga atau orang tua dengan anak autistik. Memberikan pelatihan bagi calon terapis dan konslutan di beberapa daerah Jambi, Medan, Bandung, Solo, Tangerang dan Jakarta.

Saya menjadi Dosen tidak tetap di Unika Atmajaya Program Konseling dan PGSD. Saya juga mengajar /Dosen tetap di UNINUS Bandung (jl. Soekarno Hatta)Program Pendidikan Luar Biasa.

Saya memiliki pusat terapi di Cengkareng Jakarta dan di Komplek Dasana Indah Blok BA4 no 14 Bonang Tangerang Banten. Saya sedang membaca buku. Bila Anda minat, punya masalah, atau punya anak dengan gangguan autistik, Saya dengan senang hati mau berbagi pengetahuan atau membantu anda bila dibutuhkan.

Jika Anda membutuhkan bantuan saya, Hubungi Saya di 08129928145
Dengan senang hati saya membanu anda.Tanks